Radarlambar.bacakoran.co Di era digital, suara kritis yang disampaikan melalui media sosial sering kali menjadi jembatan antara masyarakat dan kekuasaan. Namun, jembatan itu tak selalu aman. Bagi Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, langkahnya dalam mengedukasi publik soal buzzer politik berujung pada serangan digital yang mengancam ruang privatnya.
Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus doxing terhadap aktivis yang aktif bersuara di ruang digital. Lebih dari sekadar pelanggaran etika internet, kejadian ini menjadi peringatan serius tentang rapuhnya perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di ranah daring.
Dari Video Edukasi ke Serangan Digital
Awal mula serangan ini berakar pada video pendek yang diunggah Neni melalui TikTok pada 5 Mei 2025. Dalam video tersebut, ia mengulas laporan jurnalistik terkait peran buzzer politik di Indonesia. Bukan sembarang tudingan, Neni menyusun kontennya berdasarkan laporan media arus utama, seperti Kompas, yang mendokumentasikan bagaimana buzzer digunakan untuk memengaruhi opini publik dan menyebarkan propaganda dengan anggaran negara.
Tujuannya sederhana: edukasi publik. Neni tidak menyebut nama atau menuduh individu tertentu. Ia hanya mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap praktik komunikasi politik yang tidak sehat. Namun konten yang awalnya bertujuan untuk mencerdaskan, justru menjadi titik awal dari mimpi buruk digital.
Viralitas yang Menyesatkan
Kondisi mulai memanas ketika akun resmi Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jawa Barat merilis video klarifikasi Gubernur Dedi Mulyadi mengenai tudingan penggunaan anggaran Rp47 miliar untuk membayar buzzer. Entah disengaja atau tidak, dalam video itu muncul foto Neni—yang sebenarnya tidak menyebut nama sang gubernur dalam kontennya.
Video klarifikasi tersebut kemudian diunggah ulang oleh sejumlah akun resmi Pemprov Jabar, seperti @jabarprovgoid, @humas_jabar, dan @jabarsaberhoaks. Penyisipan foto Neni dalam narasi video itu dengan cepat memicu reaksi warganet. Tak butuh waktu lama, akun Instagram dan TikTok milik Neni diserbu komentar negatif. Beberapa akun bahkan diduga menyebarkan data pribadi dan mengirimkan pesan-pesan bernada kasar ke kotak masuknya.
Inilah yang dikenal sebagai doxing—praktik membocorkan informasi pribadi seseorang ke publik, sering kali disertai niat jahat atau intimidatif. Bagi korban, doxing tidak hanya melukai secara psikologis, tetapi juga membahayakan keamanan fisik dan privasinya.
Ketika Edukasi Disalahpahami
Yang ironis, dalam konten lainnya, Neni bahkan pernah mengapresiasi kinerja sejumlah pejabat publik, termasuk Gubernur Dedi Mulyadi. Namun satu konten edukatif yang bersifat umum justru mengundang salah tafsir dan pemelintiran makna. Tanpa ada klarifikasi langsung, keberadaan fotonya dalam video pemerintah seakan menyudutkan dirinya sebagai pihak yang menyerang pemerintahan secara pribadi.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah daerah telah menerapkan prinsip kehati-hatian sebelum menyematkan wajah seseorang ke dalam narasi politis?
Dalam keterangan resminya, Diskominfo Jabar menegaskan bahwa anggaran yang dibahas dialihkan ke sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Penjelasan tersebut adalah bentuk klarifikasi, bukan tudingan balik. Namun efek viralitas di media sosial acap kali bergerak lebih cepat daripada konteks yang ingin disampaikan.
Aktivis dan Risiko di Ruang Digital
Peristiwa yang dialami Neni bukan kasus pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, pegiat demokrasi dan aktivis hak asasi manusia di Indonesia kerap menjadi korban serangan digital setelah mengkritik kebijakan atau praktik kekuasaan. Dari peretasan hingga intimidasi, semua ini menunjukkan bahwa ruang digital belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman bagi kebebasan berekspresi.
Serangan semacam ini bukan hanya soal keberanian individu, tapi juga berkaitan dengan infrastruktur perlindungan terhadap suara publik. Di banyak negara, mekanisme pelaporan, perlindungan hukum, dan etika digital sudah menjadi bagian penting dalam mengawal demokrasi digital. Namun di Indonesia, perlindungan terhadap korban doxing dan kekerasan digital masih minim.
Perlu Etika Komunikasi Pemerintah
Kasus ini juga menggugah refleksi tentang bagaimana institusi pemerintah menggunakan media sosial. Saat akun-akun resmi ikut menyebarkan konten yang bisa ditafsirkan sebagai tudingan terhadap individu, bahkan tanpa konteks yang lengkap, maka risiko stigmatisasi dan pembingkaian yang salah makin besar. Di sinilah pentingnya etika komunikasi digital, terutama bagi lembaga negara.
Media sosial bukan hanya alat komunikasi satu arah. Ia adalah ruang publik yang penuh risiko. Saat pemerintah masuk ke ruang ini, seharusnya ada standar yang menjunjung etika, transparansi, dan kehati-hatian agar tidak melukai warga—apalagi yang tidak punya akses kuasa yang setara untuk membela diri.
Demokrasi dan Ancaman Non-Fisik
Kini, demokrasi tidak hanya diuji di bilik suara, tetapi juga di ruang digital. Suara kritis bisa dibungkam bukan dengan sensor, tetapi dengan gelombang komentar benci dan ancaman anonim. Aktivis seperti Neni mewakili semangat demokrasi yang berani menyampaikan opini dengan data dan tanggung jawab. Namun jika mereka terus menjadi sasaran serangan, siapa lagi yang berani bersuara?
Dibutuhkan komitmen bersama—dari pemerintah, masyarakat, dan platform digital—untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan adil. Karena demokrasi tidak akan tumbuh di tanah yang ditaburi intimidasi. (*)
Kategori :