Dari Vonis Mati di Indonesia ke Pembebasan di Prancis: Dinamika Hukum Transnasional Kasus Serge Atlaoui

Dari Vonis Mati di Indonesia ke Pembebasan di Prancis: Dinamika Hukum Transnasional Kasus Serge Atlaoui--
Radarlambar.bacakoran.co Hukum pidana internasional bukan hanya soal pasal dan hukuman. Di dalamnya, terjalin jalinan kompleks antara kedaulatan negara, hak asasi manusia, hubungan diplomatik, hingga pertimbangan kemanusiaan. Kasus Serge Atlaoui menjadi salah satu contoh paling nyata ketika hukum nasional dan sistem peradilan lintas negara bertemu dalam titik krusial yang menguji kerja sama bilateral.
Riwayat Kasus: Dari Tangerang ke Titik Eksekusi
Nama Serge Atlaoui sempat menjadi perhatian dunia ketika pria asal Prancis itu ditangkap dalam penggerebekan pabrik ekstasi di Tangerang, Banten, pada 2005. Investigasi aparat penegak hukum menunjukkan keterlibatannya dalam produksi psikotropika dalam jumlah besar. Proses hukum pun bergulir. Setelah melewati pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung, Atlaoui dijatuhi hukuman mati pada 2007.
Ia kemudian menempuh jalur hukum lanjutan, termasuk permohonan grasi kepada Presiden Indonesia kala itu. Namun semua upaya tersebut ditolak. Tahun 2015 menjadi masa paling menegangkan: Atlaoui masuk daftar eksekusi mati gelombang kedua. Namun, karena tekanan diplomatik dan permintaan dari berbagai pihak internasional, eksekusi ditunda. Di balik dinding Lapas Nusakambangan, Atlaoui menunggu, tanpa kepastian.
Perubahan Jalur: Dari Eksekusi ke Pemulangan
Titik balik kasus ini terjadi setelah pemerintah Indonesia dan Prancis menyepakati pengaturan praktis pemindahan tahanan. Berdasarkan dokumen resmi yang ditandatangani kedua negara pada 24 Januari 2025, Atlaoui akhirnya dipulangkan ke Prancis pada 4 Februari 2025. Perjanjian itu mengandung pengakuan penuh dari Prancis atas kejahatan yang telah dilakukan warganya, serta menghormati vonis hukum Indonesia.
Langkah ini tidak lepas dari sejumlah pertimbangan strategis. Selain hubungan bilateral yang erat, pemerintah Indonesia juga mempertimbangkan kondisi kesehatan Atlaoui yang memburuk akibat penyakit kanker. Dalam hukum internasional, pertimbangan kemanusiaan kerap menjadi alasan kuat untuk melakukan pemindahan tahanan, terlebih ketika negara penerima menjamin tanggung jawab atas lanjutan hukuman.
Sistem Hukum yang Berbeda, Prinsip yang Disepakati
Meski Indonesia menjatuhkan hukuman mati, sistem hukum Prancis tidak mengenal pidana mati dalam kerangka hukum positif mereka. Sebaliknya, Prancis menetapkan maksimal hukuman pidana penjara selama 30 tahun untuk kasus berat seperti narkotika. Oleh karena itu, ketika Atlaoui kembali ke negaranya, pengadilan Prancis mengonversi vonis mati menjadi pidana penjara 30 tahun.
Setelah menjalani dua pertiga masa hukuman sesuai kalkulasi sistem hukum Prancis, pada 18 Juli 2025, pemerintah setempat memberikan pembebasan bersyarat. Ini bukan berarti penghapusan dosa, melainkan bentuk pelaksanaan hukuman sesuai norma hukum negara penerima. Dalam kerangka kerja sama internasional, keputusan ini dianggap sah dan tidak melanggar perjanjian antarnegara.
Menghormati Kedaulatan, Menjaga Hubungan
Respons pemerintah Indonesia terhadap keputusan Prancis mencerminkan prinsip resiprositas yang menjadi dasar dalam hubungan internasional. Tidak ada intervensi, tidak pula sikap menggurui. Pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan hukum terhadap Atlaoui kini menjadi tanggung jawab penuh Prancis, dan Indonesia menghormati keputusan pembebasan bersyarat itu karena sesuai mekanisme hukum negara tersebut.
Prinsip timbal balik ini juga memberi ruang bagi Indonesia untuk melakukan hal serupa di masa depan. Jika ada warga negara Indonesia yang menjalani hukuman di Prancis, maka Indonesia memiliki peluang yang setara untuk mengajukan pemindahan atau pembebasan bersyarat—tentu dengan dasar hukum dan pertimbangan yang jelas.
Antara Hukum, Diplomasi, dan Kemanusiaan
Kasus Atlaoui memperlihatkan bahwa penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari konteks global. Di satu sisi, negara berdaulat berhak menjatuhkan hukuman sesuai hukum nasionalnya. Namun di sisi lain, ketika terpidana adalah warga negara asing, dimensi diplomatik ikut bermain. Dalam hal ini, Indonesia berhasil menjaga integritas hukum nasional sambil tetap membuka ruang untuk kerja sama yang manusiawi.
Sebagai negara dengan sistem hukum yang tegas terhadap narkotika, Indonesia menempatkan kasus ini dalam kerangka kepastian hukum. Namun pada saat yang sama, langkah-langkah kemanusiaan tetap menjadi pertimbangan, terlebih ketika negara sahabat menawarkan penyelesaian yang menghormati keputusan pengadilan Indonesia.
Pelajaran dari Kasus Serge Atlaoui
Di tengah gelombang globalisasi, perpindahan manusia antarnegara membawa serta konsekuensi hukum yang semakin kompleks. Tidak hanya menyangkut hak warga negara di luar negeri, tetapi juga bagaimana negara asal dan negara tujuan bersinergi dalam penegakan keadilan. Kasus ini menjadi studi penting bagi para pemerhati hukum, praktisi diplomasi, dan pemerintahan, tentang bagaimana sistem berbeda dapat berdampingan dalam satu kerangka kerja sama yang adil.
Ke depan, mekanisme pengaturan praktis seperti dalam kasus Atlaoui bisa menjadi rujukan dalam menangani narapidana lintas negara, tanpa harus mengorbankan prinsip hukum atau relasi bilateral. Karena pada akhirnya, hukum tidak berdiri sendiri—ia hidup di tengah diplomasi, kemanusiaan, dan semangat saling menghormati . (*)