Israel Dinilai Hobi "Playing Victim" di Panggung Internasional

Israel Runtuhkan Menara Sussi di Gaza, Serangan Udara Makin Gencar. Foto/Net--

RADARLAMBARBACAKORAN.CO – Israel kembali menuai sorotan dunia internasional atas strategi diplomasi yang kerap memainkan narasi sebagai korban. Sejak berdirinya pada 1948, klaim “playing victim” digunakan untuk membenarkan ekspansi pemukiman, operasi militer, dan kebijakan agresif terhadap Palestina.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan penolakannya terhadap eksistensi negara Palestina melalui rencana pembangunan ribuan rumah baru di Tepi Barat. Kebijakan ini mempertegas ambisi Israel mempertahankan wilayah pendudukan sekaligus menolak gagasan dua negara.

Narasi korban dipakai Israel untuk memperoleh simpati global, terutama dari negara Barat. Dukungan politik dan bantuan militer dari Amerika Serikat terus mengalir, meski kritik terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Gaza semakin kuat. Namun, seiring meningkatnya korban sipil Palestina, opini publik global mulai berbalik, memandang Israel bukan hanya sebagai korban, tetapi juga pelaku kejahatan perang.

Penggunaan tuduhan antisemitisme dan narasi Holocaust turut memperkuat posisi Israel di forum internasional. Identitas bangsa Yahudi sebagai penyintas genosida menjadi modal moral yang sulit dipatahkan. Namun, seiring gugatan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional pada 2024 terkait dugaan genosida, posisi Israel di mata dunia kian dipertanyakan.

Ketidakmampuan hukum internasional menindak pelanggaran Israel memperlihatkan lemahnya sistem global. Hak veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB membuat berbagai resolusi yang menentang Israel kerap kandas. Bahkan pada pemungutan suara Majelis Umum PBB September 2025, dukungan mayoritas untuk deklarasi perdamaian kembali ditolak oleh Israel dan AS bersama beberapa negara sekutu kecilnya.

Kondisi ini menegaskan bahwa Palestina masih terjepit di antara strategi Israel yang memposisikan diri sebagai korban, perlindungan politik Amerika Serikat, dan lemahnya PBB sebagai penengah. Situasi tersebut membuat jalan menuju kemerdekaan Palestina semakin panjang, sementara hukum internasional dipandang tidak lebih dari permainan politik global. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan