540 Ribu Orang Kaya Bergaji Rp100 Juta Ditanggung BPJS PBI

Budi heran iuran BPJS orang kaya dengan gaji Rp100 juta ditanggung negara sehingga mendorong penghapusan nama-nama orang kaya sebagai kategori peserta PBI. Foto CNN indonesia--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap kejanggalan besar dalam data kepesertaan BPJS Kesehatan. Ia menemukan bahwa ratusan ribu warga berpenghasilan tinggi, bahkan yang berpenghasilan di atas Rp100 juta per bulan, masih tercatat sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) — kelompok yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan rentan.

Temuan itu terungkap setelah pemerintah mulai menggunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), sebuah sistem data kependudukan dan kesejahteraan tunggal yang bertujuan menghapus tumpang tindih program bantuan sosial. Hasil pemadanan yang dilakukan Kementerian Kesehatan membuka fakta mengejutkan: sebagian warga di kelompok desil 10, yaitu 10 persen rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan tertinggi di Indonesia, masih menerima subsidi iuran BPJS dari negara.

“Begitu kita lihat, desil 10 itu kan 10 persen orang terkaya Indonesia. Ada juga yang dibayari PBI-nya 0,54 juta jiwa. Itu kan pasti pendapatannya Rp100 juta sebulan ke atas, ngapain sih dibayarin juga PBI-nya?” ujar Budi dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta Pusat, Kamis (13/11).

Berdasarkan paparan Kementerian Kesehatan, jumlah peserta berstatus ekonomi tinggi yang masih menerima subsidi iuran itu mencapai 540 ribu jiwa. Angka tersebut setara dengan 0,56 persen dari total peserta PBI, yang hingga Juli 2025 mencapai 96,8 juta jiwa atau sekitar 34 persen dari total populasi Indonesia. Fakta itu menunjukkan adanya kebocoran data bantuan sosial yang cukup besar dan berpotensi merugikan keuangan negara.

Lebih jauh, Kemenkes juga mencatat adanya 10,84 juta jiwa peserta PBI yang tidak tepat sasaran. Mereka berasal dari kelompok desil 6 hingga desil 10—kelompok masyarakat yang tidak masuk kategori miskin, rentan, atau berpenghasilan rendah. Temuan ini memperlihatkan bahwa sistem pemadanan data yang digunakan sebelumnya masih memiliki kelemahan signifikan.

Budi menegaskan bahwa penggunaan DTSEN harus menjadi dasar pembenahan besar-besaran, terutama untuk memastikan bantuan negara tepat sasaran. Menurutnya, subsidi kesehatan tidak semestinya dinikmati kelompok masyarakat yang secara kemampuan ekonomi jauh dari kategori penerima bantuan.

“Data DTSEN bagus untuk merapikan kalau ada penghapusbukuan. Ada juga yang mesti dihapus, desil 10, desil 9. Itu harus dibersihkan,” tegasnya.

Kementerian Kesehatan mendorong agar proses pemutakhiran data dilakukan secara menyeluruh bersama kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Sosial sebagai pemilik basis data bantuan sosial. Pemutakhiran tersebut akan memastikan bahwa penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan hanya berasal dari desil 1 hingga desil 5, yakni kelompok penduduk miskin dan rentan yang memang membutuhkan dukungan negara dalam mengakses layanan kesehatan.

Selain mengungkap ketidaktepatan sasaran, penggunaan DTSEN juga diharapkan menutup praktik kecurangan administrasi, termasuk kemungkinan adanya data ganda, pemalsuan identitas, atau penggunaan NIK orang lain untuk mendapatkan bantuan PBI. Dengan model verifikasi tunggal berbasis data terintegrasi, Kemenkes optimistis pemborosan anggaran bisa ditekan secara signifikan.

Pemerintah berharap proses pembersihan data penerima PBI dapat dirampungkan secara bertahap pada 2025–2026. Kebijakan ini juga menjadi bagian dari reformasi sistem jaminan kesehatan nasional agar lebih efisien, adil, dan berkelanjutan. Budi menegaskan bahwa anggaran kesehatan negara harus diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Jika langkah pembersihan data dijalankan secara konsisten, pemerintah memprediksi akan terjadi penghematan anggaran yang dapat dialokasikan untuk peningkatan fasilitas kesehatan, perluasan layanan promotif dan preventif, serta penguatan sistem kesehatan daerah yang selama ini sangat membutuhkan dukungan.

Dengan temuan baru ini, pemerintah kembali menghadapi pekerjaan rumah besar: memperbaiki tata kelola data bantuan sosial agar anggaran negara tidak terbuang percuma dan layanan publik dapat dinikmati secara adil. Reformasi data berbasis DTSEN dipandang sebagai langkah awal yang penting, namun keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen lintas kementerian dalam menegakkan akurasi, transparansi, dan integritas data.(*/edi)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan