Radarlambar.bacakoran.co - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang semula dijadwalkan berlaku pada Januari 2025 kemungkinan besar akan ditunda. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, pada Rabu (27/11/2024). Luhut menjelaskan, sebelum kebijakan kenaikan PPN diterapkan, pemerintah berencana memberikan stimulus sosial terlebih dahulu untuk membantu masyarakat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi.
Menurut Luhut, PPN 12 persen itu sebelum diterapkan, harus ada dulu stimulus untuk rakyat yang ekonominya sulit. Pemerintah kini sedang melakukan perhitungan dan evaluasi untuk menentukan berapa banyak masyarakat yang akan mendapatkan bantuan sosial tersebut. Proses perhitungan ini diperkirakan bisa memakan waktu dua hingga tiga bulan.
Pernyataan Luhut ini mengindikasikan bahwa rencana kenaikan PPN pada Januari 2025 masih bisa berubah. Dirinya tidak tahu (kenaikan PPN dilakukan 1 Januari 2025).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, juga mengungkapkan bahwa pemerintah berencana memberikan bantuan sosial sebagai bentuk “bantalan” bagi masyarakat kelas menengah yang tertekan secara ekonomi akibat rencana kenaikan PPN. Langkah ini dianggap penting untuk melindungi daya beli kelas menengah, yang diperkirakan akan terdampak oleh kenaikan tarif PPN, yang kemungkinan akan mengerek harga barang dan jasa, termasuk di sektor otomotif.
Salah satu dampak dari kenaikan tarif PPN yang dikhawatirkan adalah meningkatnya biaya produksi. Bob Azam, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), menuturkan bahwa kenaikan PPN akan menyebabkan biaya produksi lebih tinggi, yang akhirnya akan diteruskan kepada konsumen melalui harga barang jadi yang lebih mahal. Ia memperingatkan bahwa kenaikan tarif PPN yang tidak diimbangi dengan daya beli yang kuat berisiko memperburuk kondisi ekonomi, khususnya bagi kelas menengah yang sudah tertekan pasca-pandemi.
Dikatakannya, PPN itu pengaruhnya multiplier efek. Bahkan, kata dia bukan berarti 1 persen naik, biaya 1 persen. Tapi bisa lebih dari itu, tergantung kedalaman industri. Ia juga mengingatkan bahwa meski tarif pajak dinaikkan, pendapatan negara belum tentu meningkat jika ekonomi sedang mengalami kontraksi. Ketika tax rate naik, maka revenue-nya belum tentu ikut naik. Kalau ekonominya shrinking itu jauh lebih berbahaya.
Dengan situasi yang masih terus berkembang, keputusan terkait kenaikan PPN dan kebijakan pendampingnya akan terus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam beberapa bulan mendatang.(*)