RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Tradisi Dadung merupakan bentuk rasa syukur dari para petani terhadap hasil yang mereka peroleh, sekaligus simbol keharmonisan antara manusia dan alam.
Pesta Dadung juga diadakan sebagai wujud rasa terima kasih atas berkah alam yang diberikan, dengan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan melalui kegiatan seperti membuang hama dan menanam pohon. Pesta ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, bertepatan dengan peralihan musim dari kemarau menuju musim hujan.
Meski begitu, sejak beberapa tahun terakhir, acara ini dipilih untuk digelar pada tanggal 18 Agustus, sebagai bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Warga setempat selalu menantikan momen ini, bahkan perantau yang tinggal jauh dari kampung halaman kerap pulang untuk ikut serta dalam tradisi yang sangat dihormati ini.
Istilah "Dadung" merujuk pada tali besar berwarna hitam yang terbuat dari ijuk, yang menjadi simbol utama dalam perayaan ini. Namun, dalam tradisi ini, terdapat juga simbol lainnya, yaitu "kolotok", sebuah lonceng yang biasa digantungkan di leher kerbau.
Diperkirakan, Pesta Dadung sudah ada sejak abad ke-18. Pada awalnya, tradisi ini dimaksudkan untuk memperlancar hasil pertanian melalui ritual yang berhubungan dengan kesuburan tanah. Masyarakat dahulu mengadakan pemujaan terhadap Ratu Galuh, sosok yang dipercaya melindungi hewan ternak dan sumber daya alam lainnya.
Selama perkembangan tradisi ini, pengiring musik yang semula menggunakan gamelan renteng digantikan oleh dogdog, setelah alat musik gamelan dibakar pada masa perjuangan DI/TII. Kini, gamelan pelog atau salendro digunakan untuk mengiringi upacara tersebut.
Seiring waktu, Pesta Dadung menjadi tradisi yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat desa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Acara ini juga selaras dengan upacara seren taun, sebuah tradisi yang menjadi bagian dari upacara panen raya di Jawa Barat.
Pesta Dadung melibatkan berbagai unsur budaya, termasuk tarian yang dipentaskan oleh masyarakat setempat. Para penari yang terdiri dari tokoh adat, petani, dan anak gembala mengenakan kolotok, yang diikatkan pada tubuh mereka sebagai simbol pelestarian hubungan sosial.
Upacara ini terdiri dari beberapa tahap, dimulai dengan kebaktian, diikuti dengan upacara Rajah Pamunah, dan diakhiri dengan hiburan berupa tayuban. Setelah segala persiapan seperti penyediaan dadung keramat dan sesajen dilakukan, para sesepuh desa akan membakar kemenyan dan mengucapkan mantra sebagai bagian dari ritual. Dadung milik para gembala dikembalikan kepada pemiliknya, sementara dadung keramat tetap dipertahankan dalam baki yang dibawa oleh ronggeng.
Pesta Dadung kini tidak hanya menjadi tradisi budaya yang penting bagi masyarakat, tetapi juga memiliki potensi sebagai daya tarik wisata yang dapat memikat wisatawan lokal dan internasional. Upacara ini menawarkan pengalaman budaya yang kaya, yang menggambarkan hubungan mendalam antara manusia dan alam, serta menunjukkan kearifan lokal yang patut dilestarikan.(*)