RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Suasana padat langsung terasa ketika memasuki kawasan Kampung Tongkol, Jakarta Utara. Permukiman ini berdiri rapat di bawah jalur rel aktif antara Stasiun Jakarta Kota dan Ancol, dengan rumah-rumah warga menempel nyaris tanpa jarak.
Lorong-lorong sempit yang hanya cukup dilalui satu orang dewasa menjadi jalur utama di kawasan tersebut. Di beberapa titik, sepeda motor yang diparkir sembarangan mempersempit ruang gerak warga. Bangunan yang dibangun bertingkat secara vertikal juga menghalangi cahaya matahari masuk ke rumah-rumah bawah yang berdempetan.
Sebagian besar rumah di kampung ini tidak memiliki pembagian ruang yang jelas. Dapur, tempat tidur, dan ruang tamu sering kali menyatu dalam ruang sempit berukuran 2x3 meter, dengan ventilasi minim dan hanya mengandalkan kipas angin seadanya.
Jemuran pakaian terlihat menggantung di sepanjang lorong, memberi kesan padat sekaligus semrawut. Akses ke kawasan ini pun terbatas. Salah satu jalur alternatif yang digunakan warga adalah menyeberangi Sungai Ciliwung menggunakan rakit sederhana, ditarik manual dengan tali, dan dikenai biaya Rp 2.000 per orang.
Meski begitu, Kampung Tongkol tetap memiliki fasilitas dasar seperti kamar mandi umum dan warung-warung kecil yang menjual kebutuhan harian. Kehidupan berdampingan dengan rel kereta api yang melintas setiap 10 hingga 15 menit telah menjadi kebiasaan yang dianggap normal oleh warga setempat.
Salah satu warga bahkan sudah tinggal di kawasan ini lebih dari dua dekade. Mereka memilih tinggal di sana karena alasan kedekatan dengan lokasi kerja, serta harga kontrakan yang tergolong sangat murah.
Potret kehidupan di Kampung Tongkol menjadi ironi tersendiri jika dibandingkan dengan data makro ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12 persen pada kuartal II tahun 2025, melebihi ekspektasi pasar. Pemerintah pun menyebut pertumbuhan ini sebagai yang tertinggi kedua di antara negara-negara G20 dan ASEAN.
Namun, angka pertumbuhan tersebut belum mampu menyentuh realitas kehidupan di kampung-kampung padat seperti Tongkol. Keterbatasan ruang hidup, minimnya akses cahaya dan udara, serta ketimpangan infrastruktur menjadi potret kontras di tengah narasi pembangunan ekonomi nasional. (*)
Kategori :