Peretasan China Terhadap Infrastruktur Siber AS, Persiapan untuk Konflik Besar?
ilustrasi Hacker./Foto:Feepik--
Radarlambar.bacakoran.co - Para peretas yang diduga berafiliasi dengan China dilaporkan telah berhasil menyusup ke jaringan teknologi informasi penting milik Amerika Serikat, sebuah langkah yang dianggap sebagai persiapan untuk potensi konflik besar antara kedua negara. Direktur Eksekutif Komando Siber Amerika Serikat, Morgan Adamski, mengungkapkan bahwa tujuan utama dari operasi siber yang dilakukan oleh kelompok yang diduga terkait dengan China adalah untuk memperoleh keuntungan strategis jika terjadi eskalasi konflik besar dengan AS.
Motivasi di Balik Serangan Siber
Adamski menjelaskan bahwa kelompok peretas yang diduga berasal dari China tengah berupaya mengakses informasi vital dengan tujuan untuk mengganggu dan merusak infrastruktur AS apabila terjadi konflik besar. Serangan yang direncanakan oleh kelompok ini bisa melibatkan manipulasi sistem kritis seperti pendingin, pemanas, dan ventilasi di ruang server atau merusak sistem energi serta distribusi air.
Pejabat AS sebelumnya juga telah memperingatkan bahwa ancaman yang ada bukan hanya mencakup penyusupan ke jaringan teknologi informasi, namun juga adanya upaya untuk mengganggu sistem infrastruktur penting negara. Hal ini tentu menambah kekhawatiran tentang potensi serangan siber yang bisa lebih meluas, bahkan melibatkan sistem-sistem yang sangat vital bagi operasi pemerintahan dan ekonomi AS.
Pencurian Data dan Spionase Siber: Kasus "Salt Typhoon"
Senator AS, Mark Warner, juga menyoroti masalah besar terkait dengan peretasan yang diduga dilakukan oleh China terhadap perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat. Warner menyebutkan bahwa insiden tersebut adalah salah satu peretasan telekomunikasi terburuk dalam sejarah AS. FBI sendiri menegaskan bahwa operasi spionase siber yang dijuluki dengan nama "Salt Typhoon" melibatkan pencurian data penting, termasuk catatan panggilan telepon dan penyadapan komunikasi para pejabat tinggi dari kedua kampanye calon presiden AS menjelang pemilu 5 November 2024.
Selain itu, FBI juga mengklaim bahwa para peretas yang berafiliasi dengan China mencuri data yang berkaitan dengan permintaan penegakan hukum di AS. Hal ini semakin memperburuk citra China dalam hal kejahatan dunia maya dan menunjukkan potensi ancaman terhadap keamanan data dan privasi warga negara AS.
Upaya Amerika Serikat Menanggulangi Ancaman
Sebagai respons terhadap ancaman ini, FBI dan Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur (CISA) Amerika Serikat telah memberikan bantuan teknis dan informasi kepada berbagai entitas yang dianggap sebagai target potensial serangan siber. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya lebih besar untuk memperkuat pertahanan dunia maya AS dan melindungi data sensitif dari serangan luar.
Pada hari Jumat (22/11/2024), Morgan Adamski mengungkapkan bahwa Pemerintah AS telah melancarkan operasi global yang terkoordinasi, baik secara defensif maupun ofensif, untuk melemahkan dan mengganggu operasi siber yang dilancarkan oleh China di seluruh dunia. Upaya ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman yang ditimbulkan oleh spionase siber yang semakin canggih.
Respons dari China
Meskipun banyak bukti yang mengarah pada keterlibatan China dalam serangkaian serangan siber terhadap AS, pihak Beijing secara rutin membantah tuduhan tersebut. Kedutaan Besar China di Washington, misalnya, tidak segera memberikan tanggapan terkait laporan terbaru tentang serangan siber yang diduga berasal dari negara mereka.
Tuduhan ini bukan pertama kalinya muncul, dan ketegangan antara kedua negara semakin meningkat terkait dengan masalah kejahatan dunia maya dan persaingan geopolitik. Selain itu, serangan siber ini berpotensi memperburuk hubungan diplomatik antara AS dan China, yang sudah tegang karena isu-isu perdagangan, hak asasi manusia, dan keamanan regional.
Kesimpulan
Serangan siber yang diduga dilakukan oleh China terhadap infrastruktur vital Amerika Serikat semakin memperjelas betapa besar ancaman yang dihadapi dunia maya saat ini. Selain ancaman terhadap data dan sistem telekomunikasi, serangan ini juga menunjukkan potensi kerusakan yang lebih luas terhadap infrastruktur penting negara. Untuk itu, upaya defensif yang dilakukan oleh AS, seperti yang dikomunikasikan oleh Morgan Adamski dan badan keamanan terkait, menjadi sangat penting dalam menjaga kestabilan nasional dan mengurangi risiko terhadap serangan dunia maya yang lebih merusak.
Meski China membantah segala tuduhan tersebut, kenyataannya ancaman siber ini semakin sering menjadi salah satu pokok pembicaraan utama dalam hubungan internasional, khususnya di era ketegangan geopolitik yang semakin memanas. (*)