Wamenkum Eddy Hiariej Soroti Urgensi Reformasi Hukum Acara Pidana Demi Perlindungan HAM

WAMENKUM - Edi Hiarij Foto.detik--
Radarlambar.bacakoran.co – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum) Eddy Hiariej menegaskan pentingnya reformasi hukum acara pidana di Indonesia agar lebih berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, hukum acara pidana bukan sekadar alat untuk memproses pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai mekanisme perlindungan bagi individu dari potensi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Badan Keahlian DPR RI, Eddy menyoroti perlunya pendekatan yang lebih ketat dalam hukum acara pidana. Sebab, proses hukum seperti penangkapan, penahanan, dan penggeledahan berpotensi mengekang hak asasi seseorang sebelum adanya putusan bersalah. Oleh karena itu, batasan-batasan hukum harus ditegaskan melalui undang-undang guna memastikan tindakan negara tetap dalam koridor yang benar.
Lebih lanjut, Eddy menekankan tiga prinsip utama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): aturan hukum harus tertulis, jelas, dan tidak boleh diinterpretasikan secara bebas. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tersangka, terdakwa, hingga narapidana dalam proses hukum yang berjalan.
Ia juga menyoroti bahwa KUHAP saat ini lebih menitikberatkan pada paradigma crime control model, yang cenderung mengedepankan asas praduga bersalah, dibandingkan due process model yang lebih melindungi hak-hak individu. Dalam perkembangan hukum modern, paradigma ini harus berubah menuju keadilan yang lebih korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Oleh karena itu, revisi terhadap KUHAP menjadi hal yang mendesak, meskipun tidak harus secara menyeluruh.
Salah satu aspek penting yang harus diperkuat adalah peran advokat dalam sistem peradilan pidana. Advokat berfungsi sebagai pengawas yang memastikan proses hukum berjalan secara proporsional dan profesional. Selain itu, ia juga mendukung adanya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, di mana polisi tetap berperan sebagai penyidik utama, kejaksaan sebagai penuntut umum sekaligus eksekutor, serta advokat sebagai pendamping hukum yang mengawasi jalannya persidangan.
Eddy menegaskan bahwa pengawasan dalam perolehan barang bukti juga menjadi isu krusial. Proses pengumpulan barang bukti harus transparan dan dapat diawasi oleh pihak-pihak terkait agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Lebih lanjut, ia mengusulkan adanya dua jenis putusan tambahan di pengadilan, yaitu putusan pemaafan hakim untuk kasus yang layak mendapatkan pertimbangan khusus dan putusan tindakan yang berorientasi pada keadilan restoratif (restorative justice). Namun, keputusan terkait restorative justice harus melalui proses penetapan hakim dan teregistrasi oleh kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan.
Dalam hal putusan Mahkamah Agung (MA), Eddy memberikan catatan bahwa putusan MA seharusnya tidak boleh lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya, kecuali dalam kondisi tertentu. Selain itu, ia menyoroti perlunya pengetatan mekanisme peninjauan kembali (PK), agar tidak menjadi celah bagi kasus pidana untuk terus berlarut-larut tanpa kepastian hukum.
Di akhir paparannya, Eddy menegaskan bahwa restorative justice harus bisa diterapkan sejak tahap penyidikan oleh polisi, tahap penuntutan oleh jaksa, hingga tahap pengadilan oleh hakim. Ia juga menekankan pentingnya registrasi proses restorative justice di pengadilan untuk memastikan adanya pemantauan terhadap pelaku tindak pidana, terutama mereka yang baru pertama kali melanggar hukum, guna mencegah terjadinya kasus berulang. (*)