28 Negara Serukan Penghentian Perang Israel-Hamas, Krisis Kemanusiaan Gaza Memburuk

Persiapan Hamas untuk Melanjutkan Pertempuran di Gaza dengan Merekrut Ribuan Tentara. Foto/net--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Sebanyak 28 negara menyuarakan desakan agar perang antara Israel dan Hamas segera dihentikan. Seruan tersebut disampaikan dalam pernyataan bersama yang menyoroti dampak perang terhadap kondisi kemanusiaan di Gaza, Palestina, termasuk melonjaknya kasus malnutrisi dan jatuhnya puluhan ribu korban jiwa.
Data menunjukkan, hingga akhir Juli 2025, setidaknya 59.821 warga Palestina tewas dan lebih dari 144.000 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan militer Israel. Namun, meskipun mengecam kekerasan yang terjadi, negara-negara tersebut belum mengambil langkah konkret seperti menerapkan sanksi ekonomi terhadap Israel.
Beberapa negara yang tergabung dalam seruan itu diketahui telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Di sisi lain, hubungan ekonomi dengan Israel tetap berjalan. Menurut data Observatory of Economic Complexity tahun 2023, negara-negara seperti Belgia, Prancis, Irlandia, Italia, Jepang, Belanda, Polandia, Spanyol, Swiss, dan Inggris memiliki nilai perdagangan dengan Israel masing-masing mencapai lebih dari 1 miliar dolar AS. Komoditas yang diperdagangkan meliputi sirkuit terpadu, mobil, vaksin, serta produk industri lainnya.
Italia tercatat sebagai salah satu mitra dagang terbesar Israel, dengan nilai ekspor mencapai hampir 3,5 miliar dolar AS pada 2023, termasuk ekspor mobil senilai 116 juta dolar AS. Irlandia juga mencatat impor sirkuit terpadu dari Israel sebesar 3,58 miliar dolar AS.
Sementara itu, Prancis diperkirakan akan secara resmi mengakui Palestina dalam Sidang Umum PBB pada September 2025. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Islandia, dan Norwegia bahkan telah lebih dahulu mengambil langkah pengakuan, meski tetap mempertahankan kerja sama dagang dengan Israel.
Kondisi Kemanusiaan Gaza di Titik Kritis
Krisis kemanusiaan di Gaza kini mencapai titik yang mengkhawatirkan. Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa hampir sepertiga penduduk Gaza mengalami kelaparan ekstrem, dengan banyak keluarga tidak makan selama berhari-hari akibat minimnya pasokan makanan.
Lebih dari 90.000 perempuan dan anak-anak disebut membutuhkan perawatan medis segera karena menderita malnutrisi parah. Selain itu, krisis air bersih dan kekurangan bahan bakar turut memperburuk situasi, memaksa warga Gaza menggunakan metode memasak yang tidak aman dan membahayakan kesehatan.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyoroti bagaimana keterbatasan infrastruktur dan logistik di Gaza mempersulit distribusi bantuan, termasuk air bersih dan makanan.
Ketegangan Diplomatik dan Ketiadaan Sanksi
Meski seruan internasional menguat, ketegangan diplomatik antara Israel dan beberapa negara besar seperti Inggris dan Prancis masih menghambat langkah konkret. Ketidakpercayaan yang mendalam serta pertimbangan geopolitik dan ekonomi menjadi penghalang dalam penerapan sanksi terhadap Israel.
Pengamat hubungan internasional menilai bahwa banyak negara masih menghadapi dilema antara menjunjung hubungan ekonomi strategis dengan Israel dan tuntutan untuk menunjukkan dukungan nyata kepada Palestina.
Isu kelaparan massal di Gaza bahkan menarik perhatian berbagai tokoh internasional, termasuk mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton.
Respons Israel dan "Jeda Taktis"
Israel menyikapi pernyataan internasional tersebut dengan penolakan. Pemerintah menilai seruan tersebut tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya dan berisiko memperkuat posisi Hamas.
Sebagai bentuk tanggapan terhadap tekanan global, Israel mengumumkan penerapan “jeda taktis” setiap hari dari pukul 10.00 hingga 20.00 waktu setempat. Langkah ini dimaksudkan untuk memungkinkan distribusi bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah Gaza. Namun, di lapangan, operasi militer masih terus berlanjut dan menimbulkan korban baru.
Situasi di Gaza diperkirakan akan terus memburuk jika tidak ada langkah politik yang nyata dari komunitas internasional untuk menghentikan kekerasan dan mempercepat pengiriman bantuan kemanusiaan. (*)