Penyederhanaan Klasifikasi Beras Dinilai Ancam Penggilingan Padi Kecil

Foto: Petani panen padi. Dok Kementan--
Radarlambar.bacakoran.co – Rencana pemerintah menghapus klasifikasi beras premium dan medium serta menggantinya menjadi dua kategori, yaitu beras umum dan beras khusus, dinilai berisiko memicu ketimpangan dalam struktur industri perberasan nasional. Langkah ini dikhawatirkan berdampak besar terhadap keberlangsungan usaha penggilingan padi skala kecil yang jumlahnya mendominasi di Indonesia.
Wacana penyederhanaan ini tertuang dalam rencana revisi terhadap Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Perbadan) No. 2 Tahun 2023 tentang persyaratan mutu dan label beras. Pemerintah beralasan perubahan ini bertujuan menyederhanakan sistem klasifikasi dan memudahkan pengawasan distribusi beras.
Namun pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai kebijakan tersebut perlu mempertimbangkan realitas lapangan. Saat ini, dari sekitar 169 ribu unit penggilingan padi di Indonesia, lebih dari 95 persen merupakan penggilingan kecil, sedangkan sisanya terdiri dari penggilingan menengah (4,32 persen) dan besar (0,62 persen).
Penggilingan kecil diketahui memiliki keterbatasan dalam menghasilkan beras berkualitas tinggi dengan biaya rendah. Tingkat kehilangan hasil yang tinggi, rendemen rendah, serta tingkat higienitas yang kurang menjadi tantangan utama yang mereka hadapi. Di sisi lain, penggilingan besar dan terintegrasi justru memiliki keunggulan dalam efisiensi produksi, kualitas beras, dan daya saing pasar.
Jika pemerintah hanya menetapkan satu standar mutu beras umum yang terlalu tinggi tanpa mengakomodasi kapasitas penggilingan kecil, maka pelaku usaha kecil tersebut dikhawatirkan tersingkir dari pasar. Dampak lanjutannya bisa berupa meningkatnya pengangguran di sektor pedesaan, kesulitan petani dalam menjual gabah, hingga potensi distorsi harga dan distribusi.
Perubahan lanskap konsumen juga menjadi faktor penting yang tak bisa diabaikan. Dalam dua dekade terakhir, preferensi konsumen terhadap beras telah bergeser. Beras tidak lagi dipandang sebagai komoditas homogen, melainkan sebagai produk heterogen berdasarkan kualitas, rasa, merek, kemasan, hingga varietas. Pangsa pasar beras premium kini bahkan diperkirakan mencapai 30 persen dari total konsumsi nasional.
Jika penghapusan klasifikasi ini dilakukan tanpa kerangka regulasi yang adil, berpotensi muncul manipulasi kualitas beras di pasar, serta tumbuhnya pasar gelap untuk beras kualitas rendah yang tidak tercakup dalam sistem distribusi resmi.
Karena itu, para pemangku kepentingan mendorong agar pemerintah tidak terburu-buru mengeksekusi kebijakan ini. Penetapan kriteria mutu beras umum dan khusus harus dilakukan secara komprehensif, termasuk penghitungan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sesuai dengan kondisi industri dan kebutuhan masyarakat.
Kebijakan publik yang ideal semestinya meminimalkan dampak negatif bagi kelompok rentan dan memperbesar manfaat bagi seluruh pihak dalam ekosistem pangan nasional. Tantangan ini menjadi ujian penting bagi arah reformasi kebijakan pangan ke depan.(*)