Dokter Tifa Kembali Persoalkan Transkrip Nilai Jokowi, Dinilai Tidak Lengkap dan Tak Lazim
Dokter Tifa bersama Roy Suryo dan Rismon saat soft launching buku mereka, Jokowi's White Paper. Foto Instagram--
RADARLAMBARBACAKORAN.CO- Polemik terkait dokumen akademik Presiden RI ke-7 Joko Widodo kembali mencuat setelah Dokter Tifa, yang dikenal sebagai rekan Roy Suryo, mempertanyakan keabsahan transkrip nilai Jokowi dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai dokumen tersebut janggal karena dinilai cacat dan tidak lengkap dibandingkan standar transkrip akademik pada era kelulusan 1985.
Sorotan Dokter Tifa mengarah pada format dan isi transkrip nilai yang ditampilkan penyidik kepolisian. Menurutnya, angka-angka nilai yang tercantum dianggap tidak lazim karena ditulis tangan, bukan diketik menggunakan mesin ketik manual sebagaimana praktik umum pada Fakultas Kehutanan UGM di masa tersebut.
Isu ini merupakan kelanjutan dari kasus dugaan ijazah palsu Jokowi yang sebelumnya dipersoalkan oleh Dokter Tifa bersama Roy Suryo dan sejumlah pihak lain. Perkara tersebut telah berujung pada penetapan delapan tersangka, termasuk Dokter Tifa, dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan fitnah atas laporan yang dilayangkan Jokowi pada Mei 2025.
Perkembangan terbaru terjadi saat Polda Metro Jaya menggelar gelar perkara khusus pada Senin (15/12/2025). Dalam forum yang berlangsung sekitar enam jam itu, penyidik memperlihatkan ijazah dan sejumlah dokumen akademik Jokowi, termasuk transkrip nilai S1 Fakultas Kehutanan UGM, yang telah disita sejak Juni 2025. Dokumen tersebut ditunjukkan langsung kepada Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa.
Usai gelar perkara, Dokter Tifa kembali menegaskan keberatannya terhadap transkrip nilai tersebut. Ia menyebut dokumen itu tidak memenuhi standar kelengkapan administrasi akademik karena tidak memuat tanda tangan pejabat fakultas sebagaimana mestinya.
Dokter Tifa mengklaim dirinya bersama Roy Suryo dan Rismon Sianipar memiliki spesimen transkrip nilai Fakultas Kehutanan UGM keluaran tahun 1985. Menurutnya, spesimen tersebut menunjukkan perbedaan signifikan dibandingkan transkrip nilai Jokowi yang disita kepolisian.
Ia juga menyoroti absennya tanda tangan dekan dan pembantu dekan I pada transkrip nilai Jokowi, yang menurutnya merupakan elemen wajib dalam dokumen akademik resmi Fakultas Kehutanan UGM pada masa itu. Selain itu, format penulisan nilai yang dilakukan dengan tulisan tangan dinilai semakin memperkuat kejanggalan dokumen tersebut.
Polemik ini menambah panjang daftar perdebatan publik terkait keabsahan dokumen akademik Jokowi, yang hingga kini masih bergulir di ranah hukum dan menjadi perhatian luas masyarakat.