RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Di atas permadani hijau rerumputan, sekelompok remaja tampak duduk bersila dengan penuh ketenangan.
Mata mereka menatap lurus ke depan, tertuju pada sebuah sasaran kecil yang berdiri tegak di kejauhan.
Di tangan, busur bambu mereka genggam erat, tali ditarik perlahan sembari menarik nafas panjang.
Dalam keheningan itu, anak panah dilepas meluncur membelah udara hingga terdengar bunyi logam yang halus ketika mengenai sasaran.
Raut wajah mereka pun merekah, bukan semata karena panah tepat mengenai tujuan, namun karena telah berhasil menaklukkan ego dan mengolah rasa.
Inilah jemparingan seni panahan khas Jawa yang sarat makna, bukan hanya dari sisi fisik tetapi juga batiniah.
Tradisi ini bukan sekadar olahraga, melainkan laku hidup yang mencerminkan kehalusan budi, kedisiplinan, dan kepekaan jiwa.
Kata jemparingan berasal dari bahasa Jawa jemparing yang berarti anak panah.
Tradisi ini merupakan peninggalan budaya dari masa kejayaan Kerajaan Mataram dan hingga kini masih dipertahankan sebagai bagian dari kekayaan budaya Yogyakarta dan sekitarnya.
Tidak seperti teknik memanah modern yang dilakukan sambil berdiri dan menitikberatkan pada presisi visual, jemparingan justru dilakukan dengan duduk bersila.
Posisi ini mencerminkan sikap rendah hati, kesederhanaan, serta keharmonisan antara tubuh dan alam semesta.
Asal usul jemparingan dapat ditelusuri kembali ke masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pada awalnya, seni ini hanya diajarkan di lingkungan keluarga keraton sebagai media latihan konsentrasi, pengendalian diri, dan pembentukan karakter ksatria.
Seiring berjalannya waktu, seni ini mulai diperkenalkan kepada masyarakat luas sebagai bagian dari pelestarian nilai-nilai budaya.
Terdapat dua pandangan terkait asal-muasal jemparingan. Versi pertama menyebutkan bahwa seni ini diciptakan sebagai sarana untuk membina karakter rakyat agar memiliki semangat kepahlawanan.