RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Di tengah desakan global untuk menurunkan emisi karbon dan menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), Indonesia justru menunjukkan arah kebijakan yang kontras.
Negara ini tercatat sebagai salah satu dari sedikit negara yang masih agresif menambah kapasitas PLTU, bahkan menduduki posisi ketiga dunia pada 2024, menurut laporan Global Energy Monitor (GEM) dalam publikasi terbarunya Boom and Bust Coal 2025.
Tambahan kapasitas yang mencapai 1,9 gigawatt (GW) menempatkan Indonesia hanya di bawah China dan India, yang masing-masing memiliki kebutuhan energi dalam skala raksasa.
Namun yang membedakan, sebagian besar dari pembangkit baru Indonesia bukanlah untuk konsumsi publik, melainkan untuk mendukung sektor industri melalui skema PLTU captive—pembangkit yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan energi perusahaan atau kawasan industri tertentu.
Lonjakan pembangunan ini sejalan dengan ambisi nasional untuk memperkuat sektor hilirisasi dan proyek strategis lain yang membutuhkan pasokan energi besar dan stabil.
Hingga kini, Indonesia telah mengoperasikan sekitar 130 unit PLTU captive dengan kapasitas minimal 30 megawatt (MW), serta memiliki 21 unit lain dalam tahap pengembangan.
Kenaikan kapasitas ini mencerminkan tren yang terus menanjak sejak Indonesia menandatangani Perjanjian Paris pada 2015.
Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, kapasitas PLTU nasional melonjak sekitar 29 GW, menjadikan Indonesia salah satu dari lima negara dengan pembangkit berbasis batu bara terbesar di dunia, dengan total mencapai 54,7 GW.
Meskipun pada 2022 pemerintah sempat mengumumkan moratorium pembangunan PLTU baru sebagai bagian dari komitmen transisi energi, kebijakan ini rupanya tidak berlaku mutlak.
Proyek-proyek yang telah tercantum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) tetap berjalan, bahkan RUKN 2024–2060 justru menetapkan target tambahan sebesar 26,7 GW hingga tujuh tahun ke depan, mayoritasnya tetap dalam bentuk PLTU captive.
Sebagai bentuk mitigasi terhadap emisi tinggi dari batu bara, pemerintah mendorong penggunaan teknologi seperti co-firing, yaitu mencampurkan batu bara dengan biomassa, serta penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS).
Namun, efektivitas dua teknologi ini masih dipertanyakan, baik dari sisi biaya yang tinggi maupun hasil yang belum signifikan. Risiko seperti deforestasi akibat peningkatan kebutuhan biomassa juga mengintai, terutama dalam implementasi co-firing skala besar.
Sementara itu, banyak negara di dunia justru bergerak menjauhi batu bara. Tahun 2024 menjadi titik balik di Eropa, di mana penutupan PLTU melonjak drastis dari hanya 2,7 GW menjadi 11 GW.
Jerman menjadi kontributor terbesar dengan penghentian operasi sebesar 6,7 GW, sementara Inggris menjadi salah satu negara yang sepenuhnya meninggalkan batu bara sebagai sumber energi.
Dalam peta global, Indonesia kini tergabung dengan segelintir negara—termasuk China, India, Bangladesh, dan Korea Selatan—yang masih memperluas infrastruktur PLTU mereka.