Radarlambar.bacakoran.co -Hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Afrika Selatan kembali diuji setelah insiden yang terjadi dalam pertemuan antara mantan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Dalam pertemuan yang semula bertujuan membahas kerja sama bilateral, situasi berubah canggung ketika Trump memunculkan isu sensitif yang berkaitan dengan konflik rasial di Afrika Selatan.
Awalnya, Presiden Ramaphosa menyampaikan apresiasi terhadap dukungan Amerika Serikat selama pandemi Covid-19 dan membuka peluang kerja sama lebih lanjut. Namun, suasana mendadak berubah ketika Trump meminta stafnya untuk memutar sebuah video yang diklaim menampilkan kekerasan terhadap petani kulit putih di Afrika Selatan. Ia menyebutnya sebagai “genosida” dan menyatakan bahwa insiden tersebut menjadi perhatian serius bagi dirinya.
Presiden Ramaphosa tampak terkejut dan tidak mengarahkan perhatian ke layar saat video diputar. Ketika Trump mengonfirmasi lokasi kejadian, Ramaphosa merespons bahwa ia tidak mengenali daerah yang ditampilkan. Namun Trump menegaskan, “Itu di Afrika Selatan.”
Trump kemudian mengungkapkan kekhawatirannya kepada media, didukung oleh berkas-berkas yang disampaikan oleh Wakil Presiden JD Vance. Berkas tersebut berisi artikel yang mengabarkan serangan terhadap petani kulit putih yang berujung kematian.
Menanggapi situasi tersebut, Ramaphosa mencoba menjaga suasana diplomatis. Ia menjelaskan bahwa Afrika Selatan adalah negara demokrasi multipartai, dan beberapa kebijakan yang diberlakukan bukan sepenuhnya cerminan dari pemerintah pusat. Ia juga menekankan bahwa Menteri Pertanian yang menyertainya dalam kunjungan tersebut adalah warga kulit putih, dan bahwa pemerintah Afrika Selatan berkomitmen untuk memberantas kejahatan apapun tanpa memandang ras.
Namun, Trump tetap bersikeras bahwa sebagian kekerasan tersebut dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan dengan pejabat pemerintah. Hal ini memperburuk situasi dan menciptakan kesan ketegangan dalam pembicaraan bilateral.
Trump sebelumnya telah mengkritik kebijakan reformasi agraria di Afrika Selatan, terutama yang berkaitan dengan redistribusi tanah tanpa kompensasi kepada petani kulit putih. Ia juga menentang gugatan genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional, yang semakin menambah daftar ketegangan antara kedua negara.
Kebijakan AS Terkait Afrika Selatan dan Iklim
Selain isu hak asasi manusia, kebijakan lingkungan juga menjadi sorotan. Pemerintahan Trump dilaporkan menunda pencairan dana iklim sebesar 500 juta dolar AS yang seharusnya disalurkan melalui Climate Investment Funds (CIF), sebuah inisiatif global di bawah Bank Dunia yang mendukung transisi energi di negara berkembang.
Pendanaan tersebut sedianya akan membuka akses tambahan hingga 2,1 miliar dolar dari sumber pembiayaan multilateral lainnya. Namun, kekhawatiran muncul bahwa dana tersebut bisa saja dibatalkan sepenuhnya.
Penundaan ini merupakan bagian dari langkah lebih luas pemerintahan Trump untuk menarik Amerika Serikat dari berbagai inisiatif iklim internasional. Pada Maret sebelumnya, AS juga resmi menarik diri dari Dewan Kerusakan dan Iklim PBB—sebuah platform penting untuk membantu negara-negara rentan menghadapi bencana iklim.
CIF sendiri memiliki misi penting dalam membiayai proyek-proyek yang mendukung transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan ketahanan iklim. Namun langkah-langkah kebijakan Trump justru memperlihatkan arah berlawanan dengan komitmen global terhadap keberlanjutan.
Insiden diplomatik ini menjadi gambaran bagaimana perbedaan pandangan dan pendekatan terhadap isu-isu sensitif seperti ras, HAM, dan perubahan iklim dapat menciptakan ketegangan antarnegara. Respons diplomatis Ramaphosa menunjukkan upaya menjaga hubungan bilateral, namun langkah-langkah kebijakan dari AS selama masa pemerintahan Trump tetap meninggalkan tantangan tersendiri dalam menjalin kemitraan yang stabil. (*)