Radarlambar.bacakoran.co Di tengah gencatan senjata dengan Israel, Iran tetap bersiaga menghadapi kemungkinan serangan lanjutan dari Amerika Serikat dan sekutunya. Ketegangan yang belum sepenuhnya mereda mendorong Iran memperkuat pertahanannya, termasuk melakukan langkah strategis dalam pengadaan alutsista baru.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah memodernisasi kekuatan udara. Ketergantungan Iran terhadap pesawat tempur tua seperti F-4 Phantom dan MiG-29 dianggap tidak cukup untuk menghadapi dominasi udara Israel dan ancaman serangan presisi dari AS. Iran sebelumnya memesan jet tempur Su-35 “Flanker-E” dari Rusia, namun karena proses pengiriman yang tak kunjung terealisasi, perhatian beralih ke alternatif yang lebih cepat: pesawat J-10C buatan China.
Langkah cepat dilakukan oleh Menteri Pertahanan Iran Aziz Nasirzadeh. Setelah bertemu dengan Presiden Vladimir Putin di Moskow, ia langsung melanjutkan perjalanan ke Qingdao, China. Di sana, ia hadir dalam forum Shanghai Cooperation Organisation (SCO), sebuah organisasi keamanan regional yang dipimpin oleh China dan Rusia. Forum ini dianggap strategis bagi Iran untuk memperluas kerja sama militer dan pertahanan, terutama terkait pengadaan sistem senjata mutakhir.
Pesawat tempur J-10C, yang kini menjadi incaran Iran, dikenal sebagai jet multiperan generasi 4,5 dengan kemampuan tempur udara yang mumpuni. Jet ini sempat dipesan oleh Mesir, namun kesepakatannya dibatalkan karena tekanan dari Amerika Serikat. Iran kini berniat mengambil alih pesanan tersebut guna mempercepat penguatan kekuatan udaranya.
Minat Iran terhadap J-10C meningkat setelah performa pesawat ini menarik perhatian dunia dalam konflik antara India dan Pakistan pada Mei 2025. Saat itu, J-10C milik Angkatan Udara Pakistan diklaim berhasil menembak jatuh sejumlah pesawat tempur modern India, termasuk Rafale, Su-30MKI, dan Mirage 2000, dengan menggunakan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15E.
Ketertarikan Iran terhadap J-10C juga mencerminkan kekecewaan atas keterlambatan pengiriman Su-35 dari Rusia. Pesawat tempur buatan Rusia itu sebelumnya juga dipesan oleh Mesir namun batal dikirim karena alasan geopolitik. Kini, Iran melihat peluang untuk menutup kesenjangan kekuatan udara dengan Israel melalui pengadaan jet tempur J-10C, yang dianggap cukup tangguh untuk menghadapi tantangan strategis di kawasan.
Meskipun AS dan Israel sempat mengklaim telah berhasil melumpuhkan fasilitas nuklir Iran, laporan intelijen justru menunjukkan bahwa dampaknya hanya bersifat sementara. Program nuklir Iran diyakini hanya tertunda beberapa bulan, bukan dihentikan total. Kondisi ini semakin memperkuat alasan Teheran untuk meningkatkan postur pertahanannya, terutama di sektor udara.
Dengan situasi kawasan yang masih rawan, Iran tampaknya tak ingin sekadar bertahan. Langkah diplomasi militer yang dilakukan melalui SCO sekaligus menunjukkan bahwa Iran terus mencari dukungan dan mitra strategis untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi tekanan Barat di masa mendatang. (*)
Kategori :