RADARLAMBAR.BACAKORAN. CO - Sengketa Blok Ambalat kembali mencuat ke permukaan. Meski bukan persoalan baru, isu ini tetap menjadi bara dalam sekam yang menguji kesabaran diplomasi Indonesia di tengah dinamika geopolitik Asia Tenggara. Pemerintah kini berdiri di persimpangan besar: meredakan ketegangan melalui meja perundingan atau mengambil langkah konfrontatif yang berisiko memanaskan suasana.
Blok Ambalat, yang terletak di Laut Sulawesi, bukan sekadar hamparan air di peta. Kawasan ini memiliki cadangan minyak dan gas yang menggiurkan, sehingga sejak lama menjadi incaran. Namun, perebutan wilayah antara Indonesia dan Malaysia justru mengakar dari persoalan lama yang nyaris berusia setengah abad.
Jejak sengketa ini bermula pada 1969, saat Indonesia dan Malaysia sepakat melakukan survei dasar laut untuk menetapkan batas landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dari survei itu lahirlah Perjanjian Batas Landas Kontinen yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969. Perjanjian ini, yang kemudian diratifikasi di tahun yang sama, menegaskan bahwa Blok Ambalat berada di wilayah sah Indonesia.
Namun, situasi berubah drastis satu dekade kemudian. Pada 1979, Malaysia menerbitkan peta baru yang memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayah teritorialnya. Peta ini bukan hanya memicu protes keras dari Indonesia, tetapi juga menuai keberatan dari negara-negara tetangga seperti Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam.
Ketegangan kian meningkat ketika aparat kedua negara beberapa kali terlibat insiden di laut. Penangkapan nelayan Indonesia di wilayah yang diklaim Malaysia menjadi salah satu pemicu, disusul langkah Malaysia yang membagi kawasan sengketa menjadi Blok Y (ND6) dan Blok Z (ND7), lalu memberikan konsesi eksplorasi kepada perusahaan minyak raksasa Shell pada 2005. Sejak itu, laporan masuknya kapal patroli Malaysia ke wilayah yang diklaim Indonesia berulang kali muncul.
Di tengah panasnya suasana, pemerintah Indonesia memilih menahan diri. Langkah yang diambil adalah diplomasi bilateral — sebuah jalur yang menekankan dialog intensif dengan Malaysia, mulai dari tingkat pejabat teknis hingga menteri.
Pendekatan ini tidak hanya mengandalkan niat baik, tetapi juga payung hukum internasional seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Meski ASEAN tidak menjadi mediator resmi, prinsip ASEAN Way — mengutamakan musyawarah dan menghindari konfrontasi — turut menjaga situasi agar tidak lepas kendali.
Sejauh ini, pilihan diplomasi berhasil menahan eskalasi. Sengketa tidak berkembang menjadi bentrokan bersenjata, seperti yang terjadi di sejumlah wilayah lain di kawasan. Bahkan, pembicaraan teknis untuk mencari titik temu terus berjalan, meski hasil konkret belum sepenuhnya terwujud.
Opsi konfrontasi tetap ada di meja, namun penuh risiko. Penguatan militer, patroli agresif, atau blokade laut memang dapat menunjukkan ketegasan, tetapi berpotensi mengundang dampak besar terhadap politik, ekonomi, dan citra internasional Indonesia.
Pengalaman pahit sengketa Sipadan dan Ligitan menjadi pelajaran berharga. Kala itu, gugatan ke Mahkamah Internasional justru berujung pada kehilangan kedaulatan atas pulau-pulau tersebut. Karena itu, pemerintah cenderung berhati-hati agar sejarah serupa tidak terulang.
Meski begitu, jika diplomasi buntu, jalur hukum internasional melalui arbitrase atau Mahkamah Internasional tetap terbuka. Alternatif lain yang mulai dilirik adalah pembentukan zona eksplorasi bersama, di mana kedua negara dapat memanfaatkan potensi minyak dan gas Blok Ambalat untuk kepentingan bersama. Skema ini diharapkan menjadi jalan tengah yang menguntungkan tanpa harus memicu konflik.
Blok Ambalat kini menjadi simbol ujian kesabaran diplomasi Indonesia. Menjaga kedaulatan sambil menghindari ketegangan terbuka membutuhkan keseimbangan yang sulit. Setiap langkah harus diperhitungkan, karena satu keputusan keliru bisa berujung pada gesekan yang lebih besar.
Bagi Indonesia, mempertahankan wilayah bukan hanya soal garis di peta, tetapi juga menjaga martabat dan hak atas sumber daya alam yang menjadi penopang masa depan. Di tengah riak ketegangan ini, pilihan antara diplomasi atau konfrontasi bukan sekadar strategi, melainkan cerminan arah politik luar negeri bangsa. (*)