Dataran Tinggi Golan: Kepentingan Strategis dan Politik yang Terus Memanas

Pada Selasa, 17 Desember 2024, PBB menegaskan kembali kekhawatiran terkait kehadiran pasukan Israel yang terus berlangsung di zona penyangga Dataran Tinggi Golan, Suriah. --

Radarlambar.bacakoran.co -Dataran Tinggi Golan, sebuah wilayah berbatu yang terletak di barat daya Suriah, sekitar 60 kilometer dari ibu kota Damaskus, memiliki luas sekitar 1.000 kilometer persegi. Wilayah ini telah menjadi titik ketegangan politik dan militer antara Suriah dan Israel sejak tahun 1967, ketika Israel merebutnya pada akhir Perang Enam Hari.

Sejarah Perebutan dan Konflik
Selama konflik tersebut, banyak penduduk Arab Suriah yang meninggalkan wilayah ini. Garis gencatan senjata ditetapkan, dan kawasan itu berada di bawah kontrol militer Israel. Upaya Suriah untuk merebut kembali Dataran Tinggi Golan terjadi pada Perang Yom Kippur 1973, namun meskipun sempat memberi kerugian besar pada pasukan Israel, serangan tersebut gagal. Satu tahun setelahnya, kedua negara menandatangani perjanjian gencatan senjata yang mencakup pembentukan zona pemisahan 70 kilometer yang dipantau oleh pasukan PBB.

Namun, secara teknis, Israel dan Suriah tetap berada dalam kondisi berperang. Pada bulan Desember tahun 1981 Israel secara sepihak mengumumkan aneksasi Dataran Tinggi Golan dimana mereka tidak diakui oleh komunitas internasional. Resolusi 497 Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa keputusan Israel tersebut tidak sah dan tidak memiliki dampak hukum internasional.

Isu Pemukiman dan Pendudukan Israel
Israel kemudian mendirikan lebih dari 30 permukiman di Dataran Tinggi Golan, yang dihuni oleh sekitar 20.000 orang Yahudi, bersama dengan 20.000 warga Suriah, kebanyakan dari etnis Druze. Meskipun wilayah ini sudah dianeksasi Israel, banyak warga Suriah yang tetap tinggal di sana dan tidak mengungsi.

Namun, meskipun Israel mengklaim kedaulatan atas Golan, pendirian permukiman ini dianggap ilegal menurut hukum internasional, meskipun Israel membantahnya. Suriah tetap bersikukuh bahwa mereka tidak akan menerima perdamaian dengan Israel kecuali negara tersebut menarik diri dari seluruh wilayah Dataran Tinggi Golan.

Kepentingan Strategis Dataran Tinggi Golan
Dataran Tinggi Golan memiliki nilai strategis yang sangat tinggi, baik dari sisi militer, politik, maupun ekonomi. Wilayah ini menawarkan titik pengamatan yang sangat baik untuk memantau pergerakan Suriah dan kawasan sekitar, karena dari puncaknya yang mencapai 2.800 meter, Israel dapat dengan jelas mengawasi bagian selatan Suriah dan ibu kota Damaskus.

Selain itu, Golan merupakan sumber air yang sangat penting bagi Israel. Air hujan yang jatuh di wilayah ini mengalir ke Sungai Yordan dan menjadi salah satu sumber utama pasokan air bagi Israel, sekitar sepertiga dari kebutuhan air negara tersebut. Selain itu, tanah di kawasan ini sangat subur dan cocok untuk pertanian, seperti anggur, kebun buah-buahan, dan peternakan.

Kawasan ini juga menjadi satu-satunya tempat di Israel yang memiliki resor ski, yang semakin menambah nilai ekonomi dan pariwisata wilayah tersebut.

Mengapa Israel Pertahankan Dataran Tinggi Golan?
Israel melihat Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah yang sangat strategis, baik dari segi keamanan maupun ekonomi. Setelah Suriah menguasai kawasan tersebut, mereka dapat menggunakan Dataran Tinggi untuk menyerang Israel dengan artileri. Oleh karena itu, Israel berusaha keras untuk mempertahankan kendali atas wilayah ini, yang kini menjadi penghalang alami terhadap potensi serangan militer dari Suriah.

Pada tahun 2003, Presiden Suriah Bashar al-Assad menyatakan kesiapan untuk melanjutkan perundingan perdamaian dengan Israel. Selama perundingan damai yang dimediasi oleh Amerika Serikat pada akhir 1990-an hingga 2000, Perdana Menteri Israel saat itu, Ehud Barak, bahkan menawarkan pengembalian sebagian besar wilayah Dataran Tinggi Golan ke Suriah. Namun, Suriah menginginkan penarikan penuh Israel ke perbatasan sebelum 1967, yang akan memberikan Damaskus kendali atas pantai timur Laut Galilea, sumber air tawar utama Israel.

Kesepakatan tersebut akan berarti pengembalian tanah yang secara militer dan ekonomi sangat penting bagi Israel, serta pembongkaran permukiman Yahudi yang telah dibangun di wilayah tersebut. Opini publik Israel secara umum menentang pengembalian Golan kepada Suriah, karena kawasan ini dianggap terlalu vital bagi keamanan dan keberlanjutan negara tersebut.

Mengapa Perundingan Tersendat?
Meskipun pembicaraan dimulai kembali pada 2008, melalui mediasi pemerintah Turki, perundingan antara Israel dan Suriah tidak pernah mencapai kemajuan yang signifikan. Setelah pengunduran diri Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, pembicaraan pun terhenti. Pemerintahan Benjamin Netanyahu yang terpilih pada 2009 mengindikasikan keinginan untuk bertindak lebih keras terhadap Dataran Tinggi Golan, sementara Suriah merasa bahwa tidak ada mitra pembicaraan yang layak di pihak Israel.

Pemerintahan Presiden Barack Obama berusaha mendorong perundingan ini, namun perang saudara yang pecah di Suriah pada 2011 mengakhiri harapan untuk menyelesaikan masalah Golan. Meski terjadi beberapa pertempuran di garis gencatan senjata pada 2013, situasi semakin kompleks setelah penguatan kembali pemerintah Suriah. Pada 2019, pemerintahan Presiden Donald Trump secara sepihak mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, yang mendapat kritik keras dari Suriah dan sebagian besar negara dunia.

Kesimpulan
Dataran Tinggi Golan tetap menjadi salah satu titik fokus utama dalam konflik Israel-Suriah, dengan kedua negara memiliki klaim yang saling bertentangan atas wilayah ini. Meskipun beberapa perundingan perdamaian telah dilakukan sepanjang sejarah, status Golan terus menjadi hambatan besar bagi tercapainya kesepakatan damai yang langgeng antara Israel dan Suriah. (*)


Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan