Kontroversi Rencana Donald Trump Relokasi Penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania
Donald Trump. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Pada 25 Januari 2025, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuat pernyataan yang mengejutkan dunia dengan mengusulkan relokasi penduduk Gaza ke negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania. Trump menyebut Gaza sebagai "tempat penghancuran" akibat perang yang berkepanjangan, dan berpendapat bahwa kawasan tersebut tidak lagi layak dihuni. Dalam pandangannya, Gaza yang telah hancur lebur akibat konflik, membutuhkan sebuah solusi drastis.
Trump mengungkapkan bahwa ia telah berbicara dengan Raja Abdullah II dari Yordania mengenai usulannya, dan berencana untuk berbicara lebih lanjut dengan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi. Menurut Trump, pemindahan penduduk Gaza bisa bersifat sementara atau bahkan jangka panjang, karena wilayah tersebut telah hancur dan penduduknya hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Namun, usulan tersebut mendapat tanggapan keras dari berbagai kelompok Palestina. Mereka melihat rencana Trump sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk kejahatan perang, karena memaksa mereka untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Banyak orang Palestina yang menganggap ini sebagai pengulangan dari "Nakba" atau bencana besar pada tahun 1948, ketika mereka terpaksa diusir dari tanah mereka setelah pembentukan negara Israel.
Pemerintah Israel, sebaliknya, menunjukkan dukungannya terhadap ide Trump. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, menyatakan bahwa relokasi warga Gaza bisa memberi kesempatan baru bagi mereka untuk memulai hidup yang lebih baik di tempat lain. Menurutnya, pendekatan yang lebih kreatif dan berbeda dari yang sudah ada mungkin bisa menjadi solusi perdamaian yang efektif.
Namun, negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania segera menanggapi dengan penolakan keras. Kedua negara ini menegaskan bahwa mereka tidak bisa menerima beban tambahan berupa pemukiman warga Gaza, yang sudah menampung banyak pengungsi Palestina. Yordania, misalnya, telah menampung lebih dari dua juta pengungsi Palestina, dan menegaskan bahwa mereka tidak bisa menambah jumlah pengungsi lebih lanjut.
Di tengah kontroversi ini, Trump juga mengonfirmasi bahwa pemerintahannya telah mengirimkan bom seberat 907 kilogram ke Israel, yang sebelumnya diblokir oleh pemerintahan mantan Presiden Joe Biden. Bom ini, yang dirancang untuk menghancurkan infrastruktur yang kuat, menambah ketegangan di wilayah yang sudah penuh dengan kekerasan.
Rencana Trump ini mengungkapkan pendekatan yang lebih pragmatis terhadap konflik Israel-Palestina, dengan lebih fokus pada solusi yang mengarah ke rekayasa real estat, dibandingkan penyelesaian politik yang adil untuk rakyat Palestina. Dengan situasi yang semakin memburuk, banyak yang bertanya-tanya apakah ide kontroversial ini bisa menjadi langkah awal menuju perdamaian, atau justru akan memperburuk ketegangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.(*)