Prabowo Didesak Moratorium Izin Tambang Nikel
![](https://radarlambar.bacakoran.co/upload/34e68093df3bf5e21418381735ad504f.jpg)
PERTAMBANGAN : Sebuah pertambangan Nikel. Foto-net--
Radarlambar.bacakoran.co - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Indonesia dan Korea Selatan mendesak Pemerintah Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto, untuk segera menerapkan moratorium dalam penerbitan izin pertambangan nikel.
Seruan ini muncul setelah berbagai laporan mengenai kerusakan lingkungan dan terjadinya konflik sosial di wilayah-wilayah yang menjadi kawasan tambang nikel. LSM-LSM tersebut menilai bahwa moratorium akan memberikan kesempatan untuk meninjau ulang kebijakan yang ada dan menegakkan aturan yang lebih ketat guna mengatasi pelanggaran yang terjadi.
Kami meminta pemerintah untuk melakukan moratorium terhadap izin pertambangan nikel, serta segera mengevaluasi dan meninjau kebijakan dan rencana nasional terkait dengan pertambangan nikel dan hilirisasi industri. Ini sangat penting untuk menanggulangi dampak yang terus berkembang, ujar Kurniawan Sabar, Direktur Eksekutif Indies, dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Cikini, Jakarta, pada Rabu (12/2).
Organisasi-organisasi yang terlibat dalam desakan ini mengakui bahwa Indonesia saat ini merupakan salah satu negara penyumbang terbesar produksi nikel di dunia. Industri pengolahan nikel di Indonesia juga sedang berkembang pesat. Namun, mereka menilai bahwa laju perkembangan industri ini harus seimbang dengan perhatian terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat sekitar.
Dampak-dampak buruk yang dikhawatirkan, antara lain, adalah polusi udara, deforestasi yang masif, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga konflik sosial yang timbul akibat adanya perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. LSM-LSM tersebut berpendapat bahwa tanpa adanya aturan yang jelas dan berkeadilan, perkembangan industri ini dapat berisiko merusak lingkungan serta kehidupan sosial masyarakat.
Selain dari Indonesia, dukungan terhadap moratorium ini juga datang dari Korea Selatan, terutama dari Climate Ocean Research Institute (CORI), yang menilai adanya perkembangan investasi yang sangat pesat dari perusahaan-perusahaan Korea Selatan di sektor pertambangan dan pengolahan nikel Indonesia.
Sebagai contoh, investasi Korea Selatan di Indonesia pada industri pengolahan nikel tercatat mencapai angka yang luar biasa, yaitu sebesar US$1,3 miliar pada kuartal II 2024, yang meningkat hingga 1.200 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Meskipun ada kenaikan investasi yang signifikan, CORI menilai bahwa perusahaan-perusahaan tersebut belum cukup memperhatikan potensi dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh ekspansi industri tersebut.
Perusahaan-perusahaan Korea harus lebih menyadari tantangan-tantangan yang muncul dan bertanggung jawab untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal di Indonesia, ujar Hyelyn Kim, Ketua Climate Ocean Research Institute (CORI).
Shin-young Chung, Direktur Advocates for Public Interest Law (APIL), turut menambahkan bahwa isu ini telah menjadi perhatian serius dari masyarakat sipil di Korea Selatan. Mereka mendorong untuk segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan Uji Tuntas Lingkungan dan Hak Asasi Manusia dalam Rantai Pasok (due diligence). Menurut Shin, undang-undang ini sangat penting agar investasi dari Korea Selatan di negara-negara lain, termasuk Indonesia, tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan sosial.
Kami sudah menyerahkan draf RUU ini ke parlemen Korea Selatan dan berharap bisa dibahas pada Desember lalu. Namun, karena adanya darurat militer, pembahasan tertunda dan kami belum tahu kapan pembahasannya akan dilanjutkan. Meski demikian, kami terus mendesak agar undang-undang ini segera disahkan, ujar Shin.
Dengan desakan dari berbagai pihak ini, diharapkan Pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Prabowo Subianto, dapat segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah yang muncul seiring dengan pesatnya industri pertambangan nikel. Selain memastikan keberlanjutan industri, penerapan kebijakan yang lebih ramah lingkungan dan sosial menjadi kunci untuk menghindari kerusakan yang lebih parah di masa depan. *