Penempatan 25 Pati-Pamen Polri di Kementerian-Lembaga, Langkah Tepat atau Kemunduran Reformasi?

Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.//Foto:dok/net.--
Radarlambar.Bacakoran.co - Sebanyak 25 perwira tinggi (pati) dan menengah (pamen) Polri resmi ditugaskan di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah. Keputusan ini tertuang dalam enam surat telegram (ST) yang diterbitkan pada 12 Maret 2025, sebagai bagian dari mutasi besar-besaran terhadap 1.255 personel Polri. Dari jumlah tersebut, 88 di antaranya mendapat promosi jabatan.
Daftar Perwira Polri yang Ditugaskan di Kementerian dan Lembaga
Beberapa nama yang mendapat penugasan di luar institusi kepolisian antara lain:
Irjen Pol Prabowo Argo Yuwono – ditugaskan di Kementerian UMKM
Irjen Pol Yudhiawan – ditempatkan di Kementerian Kesehatan
Irjen Pol Mohammad Iqbal – bertugas di Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Irjen Pol Djoko Poerwanto – ditugaskan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Irjen Pol Pudji Prasetijanto Hadi – bergabung dengan Kementerian ATR/BPN
Brigjen Pol Arman Achdiat – bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN)
Brigjen Pol Rahmadi – ditempatkan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Brigjen Pol Moh Irhamni – mendapatkan penugasan di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Polri: Bagian dari Strategi Penguatan Institusi
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Sandi Nugroho, menjelaskan bahwa kebijakan mutasi ini merupakan bagian dari strategi penyegaran organisasi dan peningkatan profesionalisme personel.
Irjen Pol Sandi Nugroho, Kamis 13 Maret 2025 pekan kemarin mengatakanmutasi itu adalah hal yang lumrah dalam dinamika organisasi Polri. Selain sebagai bentuk pembinaan karier, juga bertujuan untuk memperkuat koordinasi antara Polri dan kementerian maupun lembaga terkait.
Menuai Kontroversi, Bertentangan dengan Semangat Reformasi?
Tapi, kebijakan yang di ambil Polri itu justru menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Penempatan anggota Polri aktif di kementerian dan lembaga sipil dianggap bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang menuntut pemisahan fungsi militer dan kepolisian dari ranah politik dan birokrasi sipil. Pada masa itu, salah satu agenda utama reformasi adalah menghapuskan dwifungsi ABRI, yang memungkinkan TNI dan Polri mengisi posisi di sektor pemerintahan sipil.
Pasca-reformasi, Polri dan TNI dipisahkan menjadi dua institusi dengan tugas yang lebih spesifik. TNI berfokus pada pertahanan negara, sementara Polri bertanggung jawab atas penegakan hukum dan keamanan dalam negeri. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian juga menyatakan bahwa anggota Polri yang ingin bertugas di luar struktur kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu.
Namun, Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2013 memberikan celah dengan membolehkan anggota Polri aktif menduduki jabatan di kementerian atau lembaga tanpa harus keluar dari dinas kepolisian. Meskipun aturan ini telah digantikan oleh Perkap Nomor 4 Tahun 2017, perdebatan mengenai fleksibilitas kebijakan ini masih berlangsung.
Ketimpangan dengan TNI dan Potensi Politisasi
Sebagai perbandingan, TNI tunduk pada aturan ketat yang membatasi penempatan prajuritnya di jabatan sipil, kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur undang-undang. Ironisnya, Polri justru memiliki keleluasaan yang lebih besar. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa keterlibatan Polri dalam birokrasi sipil dapat membuka kembali praktik yang bertentangan dengan prinsip reformasi, seperti politisasi institusi kepolisian dan berkurangnya independensi Polri dalam menegakkan hukum.
Sejumlah pihak menilai bahwa aturan ini perlu dikaji ulang agar sejalan dengan semangat reformasi yang mengedepankan profesionalisme dan netralitas aparat keamanan. Meskipun Polri beralasan bahwa penugasan di kementerian dan lembaga bertujuan untuk memperkuat koordinasi antar-instansi, kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan dan dominasi Polri di sektor sipil tetap menjadi perdebatan hangat.
Dilema Antara Penguatan Kelembagaan dan Netralitas Polri
Penempatan perwira Polri di kementerian dan lembaga merupakan kebijakan yang memiliki dua sisi. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis dalam meningkatkan sinergi antar-lembaga. Namun, di sisi lain, keputusan ini juga berisiko menggerus semangat reformasi yang menghendaki netralitas Polri dalam pemerintahan sipil.
Apakah kebijakan ini akan membawa manfaat atau justru menjadi langkah mundur dalam reformasi kepolisian? Jawabannya akan sangat bergantung pada bagaimana aturan ini diterapkan dan diawasi ke depannya.(*)