Kelangkaan dan Harga Elpiji 3 Kg Tuai Sorotan

Ilustrasi Gas elpiji 3 kilogram--
SEKINCAU - Harga gas elpiji ukuran 3 kilogram yang terus melonjak tinggi belakangan ini di Kabupaten Lampung Barat (Lambar) membuat masyarakat kesulitan untuk mendapatkannya.
Kejadian ini tidak hanya menambah beban warga, tetapi juga mencuatkan sorotan tajam dari berbagai pihak, yang menganggap ketidakstabilan harga dan kelangkaan pasokan sebagai bukti ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan program subsidi.
Budayawan Lambar, Anton Sabara, mengungkapkan bahwa kelangkaan dan tingginya harga jual gas elpiji 3 kg sudah menjadi “tradisi tahunan” di wilayah ini, terutama menjelang hari-hari besar, baik itu hari raya keagamaan maupun perayaan lainnya.
Anton menilai kejadian ini bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sebuah pola yang berulang setiap tahun.
Menurutnya, fenomena ini mencerminkan kegagalan dalam mengelola program subsidi yang seharusnya meringankan beban masyarakat, namun justru memberi dampak sebaliknya.
Anton Sabara menjelaskan bahwa kelangkaan dan tingginya harga jual gas elpiji 3 kg di Lampung Barat adalah akibat dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengawasi dan menjalankan program subsidi.
“Kelangkaan gas elpiji yang disubsidi pemerintah memang sudah menjadi tradisi tahunan. Setiap tahun menjelang hari besar, harga gas elpiji pasti melonjak dan sulit didapatkan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pengawasan dan konsistensi dalam kebijakan subsidi pemerintah masih sangat lemah,” ujarnya.
Menurut Anton, program subsidi seharusnya bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, khususnya bagi kalangan yang kurang mampu. Namun, kenyataannya, kebijakan ini malah membuat masyarakat semakin terpuruk.
“Jika mau dimengerti, subsidi itu adalah bentuk upaya pemerintah untuk membantu masyarakat. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat dipersulit, harga gas menjadi sangat tinggi, dan pasokan gas menjadi terbatas,” tambahnya.
Selain itu, Anton juga menyoroti adanya indikasi permainan harga oleh pihak-pihak tertentu di tingkat agen dan pengecer. Hal ini menyebabkan distribusi gas elpiji menjadi tidak merata, dan harga di pasar menjadi tidak terkendali. Masyarakat yang seharusnya mendapatkan subsidi dengan harga terjangkau malah harus berhadapan dengan harga yang tidak wajar, bahkan sering kali di luar kemampuan mereka.
Sebagai respons terhadap situasi ini, Anton berharap agar pihak pemerintah Kabupaten Lampung Barat segera mengambil langkah-langkah tegas dan konkrit untuk mengatasi permasalahan kelangkaan dan tingginya harga gas elpiji 3 kg.
“Kami berharap agar pemerintah daerah bisa melakukan penertiban di tingkat agen dan pengecer. Jangan biarkan ada permainan harga yang merugikan masyarakat. Pemerintah harus memastikan distribusi gas elpiji berjalan dengan baik, agar masyarakat tidak merasa dipermainkan,” katanya.
Selain penertiban harga dan distribusi, Anton juga mendorong adanya kebijakan yang lebih konkret untuk memastikan bahwa pasokan gas elpiji 3 kg tidak lagi menjadi objek perebutan di kalangan masyarakat.
“Gas elpiji adalah kebutuhan pokok. Seharusnya masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan barang tersebut dengan harga yang sesuai. Tidak seharusnya gas elpiji menjadi komoditas yang harus diperjuangkan oleh masyarakat yang sudah terbebani oleh kebutuhan lainnya,” ujar Anton.