Kisah Tragis Warga Indonesia Mencuri Demi Merayakan Lebaran Tahun 1930

Kisah Tragis Warga Indonesia Mencuri Demi Merayakan Lebaran Tahun 1930. Foto Dok/Net ---
Radarlambar.bacakoran.co - Merayakan Lebaran di tengah keterpurukan ekonomi tentu menjadi sebuah tantangan besar. Bagi banyak orang yang hidup dengan keterbatasan, memenuhi berbagai tuntutan tradisi Lebaran, seperti membeli pakaian baru, memberikan 'salam tempel', hingga menyiapkan hidangan khas Hari Raya, menjadi hal yang sangat sulit dilakukan.
Dalam situasi tersebut, banyak masyarakat Indonesia yang berjuang keras untuk mencari cara agar dapat memenuhi kebutuhan Lebaran, bahkan jika itu berarti melakukan tindakan ilegal seperti pencurian. Fenomena ini mencerminkan keadaan masyarakat Indonesia selama Krisis Ekonomi yang terjadi pada tahun 1930-an.
Krisis Ekonomi 1930 dimulai akibat kehancuran Bursa Saham New York pada Oktober 1929, yang mempengaruhi seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penurunan drastis dalam daya beli, berkurangnya investasi, dan tingginya angka pengangguran menyebar ke berbagai sektor, termasuk industri di Indonesia (dulu Hindia Belanda). Banyak pabrik yang berhenti beroperasi, dan kemiskinan semakin meluas. Pemerintah kolonial yang tidak tanggap terhadap krisis ini, menurut sejarawan Onghokham dalam bukunya Runtuhnya Hindia Belanda (1987), justru enggan mengambil tindakan yang dapat membantu mengatasi situasi, seperti mendevaluasi Gulden, yang dilakukan oleh negara-negara lain untuk menanggulangi krisis.
Kondisi ini membuat kehidupan masyarakat Indonesia semakin berat, termasuk saat menyambut Lebaran. Meskipun hidup serba kekurangan, tradisi merayakan Lebaran tetap dijalankan, seperti mengenakan pakaian baru dan memasak hidangan istimewa. Hal ini terungkap dalam laporan De Indische Courant pada 9 Mei 1932 yang menyebutkan bahwa meskipun masyarakat Indonesia miskin, mereka tetap berusaha untuk mengenakan pakaian baru pada Hari Raya.
Namun, dengan beban ekonomi yang semakin berat, beberapa orang mulai beralih ke jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan Lebaran, yaitu dengan melakukan pencurian. Laporan De Indische Courant pada 4 Februari 1931 mengungkapkan bahwa jumlah pencurian meningkat tajam menjelang Lebaran tahun 1931 di Jakarta. Banyak rumah yang disatroni pencuri, dan orang-orang yang bepergian juga menjadi korban penjambretan. Polisi menduga bahwa para pelaku pencurian ini adalah mereka yang terdampak krisis ekonomi, termasuk mantan buruh yang dipecat akibat pemotongan gaji atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Di Surabaya, peningkatan kasus pencurian juga memicu tindakan tegas dari pihak kepolisian. Seperti dilaporkan dalam De Indische Courant pada 18 November 1937, polisi menangkap sejumlah gelandangan untuk mencegah semakin meluasnya aksi pencurian menjelang Lebaran. Begitu juga di kota-kota kecil, kasus pencurian terus meningkat. Di Nganjuk, Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië pada 30 November 1937 mencatat banyaknya pencurian hasil panen dan alat pertanian, yang dilakukan oleh mereka yang terjepit krisis. Sementara di Purwodadi, laporan De Locomotief pada 10 Desember 1937 menyebutkan bahwa warga melakukan pencurian barang-barang rumah tangga, seperti kursi dan meja, yang kemudian dijual untuk membeli kebutuhan Lebaran, seperti pakaian baru dan kembang api.
Sayangnya, sepanjang krisis ini, tidak ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi masalah sosial yang timbul. Bahkan, pemerintah kolonial hanya meminta masyarakat untuk hidup sederhana dan tidak menghabiskan uang secara boros saat merayakan Lebaran. Namun, permintaan ini seakan sia-sia, karena masyarakat yang sudah terbiasa dengan tradisi Lebaran tetap berjuang untuk memenuhinya, meskipun dengan cara yang sangat memprihatinkan.
Begitulah gambaran hidup masyarakat Indonesia pada masa Krisis Ekonomi 1930-an, di mana kemiskinan dan tekanan ekonomi mendorong sebagian dari mereka untuk mengambil langkah nekat demi merayakan Hari Raya yang penuh makna.(*)