Gempa Megathrust Pernah Guncang RI, Ini Titik Lokasinya Berikut Peringatan BMKG

Ilustrasi Gempa Bumi-freepik.com-

Radarlambar.bacakoran.co – Gempa bumi megathrust bukanlah hal baru bagi Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan kembali bahwa potensi gempa besar dari zona megathrust di beberapa wilayah Tanah Air terus membayangi, bahkan dua segmen di antaranya sudah ratusan tahun belum melepaskan energinya.

Salah satu kejadian terbaru adalah gempa magnitudo 5,0 yang mengguncang wilayah selatan Banten pada 15 Maret 2025. Gempa ini terjadi pada pukul 06.55 WIB di laut, sekitar 28 kilometer dari barat daya Bayah, Banten, dengan kedalaman 59 kilometer. BMKG menyebut bahwa aktivitas ini berasal dari pergerakan subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia dan memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault), ciri khas dari gempa megathrust.

Dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, tercatat ada 13 segmen megathrust yang tersebar di seluruh nusantara. Dua di antaranya, yakni Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, menjadi perhatian khusus karena telah mengalami seismic gap—periode tanpa gempa besar—selama lebih dari dua abad. Terakhir kali gempa besar terjadi di Selat Sunda adalah pada tahun 1957, sementara di Mentawai-Siberut pada 1797.

Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengingatkan bahwa kedua wilayah tersebut perlu mendapat perhatian lebih dalam upaya mitigasi bencana. Menurutnya, energi yang belum terlepas selama ratusan tahun menunjukkan potensi bahaya yang tinggal menunggu waktu. Namun demikian, ia menekankan bahwa belum adanya kejadian gempa besar dalam waktu lama tidak serta-merta menandakan gempa akan segera terjadi.

BMKG mencatat tren peningkatan kejadian gempa di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa jumlah gempa yang terekam meningkat tajam sejak pengembangan jaringan seismograf. Jika pada periode 1990-2008 rata-rata terjadi sekitar 2.254 gempa per tahun, maka sejak 2009 hingga 2017, angka itu melonjak menjadi 5.389 kejadian. Bahkan pada 2018 dan 2019, jumlahnya mencapai lebih dari 11 ribu per tahun.

Dengan 550 seismograf yang kini tersebar di berbagai wilayah, pemantauan aktivitas tektonik terus ditingkatkan. Dwikorita menegaskan pentingnya pendekatan mitigasi bencana secara menyeluruh, tidak hanya terhadap gempa dan tsunami, tetapi juga bencana hidrometeorologi yang turut meningkat akibat perubahan iklim.

Kesiapsiagaan, edukasi, dan perencanaan tata ruang menjadi bagian penting dari langkah mitigasi yang harus diperkuat, mengingat Indonesia berada di wilayah yang sangat aktif secara tektonik. Dalam kondisi seperti ini, bukan sekadar soal jika bencana akan terjadi, tetapi kapan dan seberapa siap masyarakat serta pemerintah menghadapinya.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan