Pendapatan Masyarakat Makin Banyak Tersedot untuk Cicilan Utang

Ilustrasi. Bank Indonesia (BI) merekam kecenderungan peningkatan porsi pendapatan masyarakat yang dipakai untuk mencicil utang. -iStockphoto-
Radarlambar.bacakoran.co - Struktur pengeluaran masyarakat Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Data terbaru dari survei Bank Indonesia pada Mei 2025 menunjukkan bahwa porsi pendapatan yang digunakan untuk membayar cicilan utang mengalami kenaikan.
Pada bulan tersebut, rata-rata masyarakat mengalokasikan 10,8 persen dari total pendapatannya untuk cicilan, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di angka 10,5 persen. Kenaikan ini menjadi indikator bahwa beban kewajiban finansial rumah tangga cenderung meningkat, meski dalam angka yang terlihat kecil secara persentase.
Seiring dengan kenaikan beban cicilan, konsumsi rumah tangga justru menurun. Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi turun dari 74,8 persen menjadi 74,3 persen. Penurunan ini terjadi hampir di seluruh kelompok pengeluaran, kecuali pada kelompok berpendapatan lebih dari Rp5 juta per bulan yang relatif stabil dalam pengeluarannya.
Perubahan pola konsumsi ini memberi sinyal bahwa rumah tangga mulai mengurangi belanja kebutuhan sehari-hari untuk menjaga kemampuan membayar utang. Situasi ini bisa menjadi indikasi awal dari tekanan ekonomi yang lebih luas jika tidak segera diantisipasi.
Survei juga mencatat bahwa masyarakat masih berusaha menjaga kebiasaan menabung di tengah tekanan pengeluaran. Rata-rata porsi pendapatan yang dialokasikan untuk tabungan berada pada angka 14,9 persen. Pada kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp1–2 juta dan Rp4,1–5 juta, bahkan terdapat peningkatan alokasi untuk menabung.
Meskipun demikian, kenaikan porsi cicilan bisa menjadi sinyal awal perlambatan ekonomi konsumsi. Ketika pendapatan tidak bertambah secara signifikan, sementara kewajiban keuangan meningkat, maka kemampuan masyarakat untuk melakukan pembelanjaan non-pokok juga akan menyusut.
Dalam konteks makroekonomi, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Melemahnya daya beli karena cicilan yang makin menyita pendapatan dapat berdampak pada sektor ritel, distribusi, dan industri manufaktur.
Kondisi ini juga menyoroti potensi ketimpangan dalam akses pembiayaan dan pengelolaan keuangan. Masyarakat yang memiliki pendapatan rendah lebih rentan terhadap tekanan utang, terutama jika digunakan untuk kebutuhan produktif jangka pendek atau konsumsi harian. Sementara itu, kelompok menengah cenderung lebih mampu mengelola pembagian antara konsumsi, cicilan, dan tabungan.
Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, seperti pengendalian bunga pinjaman, penguatan literasi keuangan, dan perluasan akses ke produk keuangan inklusif, tren ini berpotensi memperlebar kesenjangan kesejahteraan antar kelompok ekonomi.
Secara keseluruhan, kenaikan porsi cicilan dalam struktur pendapatan masyarakat menjadi peringatan dini tentang dinamika tekanan ekonomi rumah tangga. Jika tidak direspons dengan baik, fenomena ini bisa berkembang menjadi beban sosial yang lebih besar, terutama jika diikuti oleh pelemahan ekonomi nasional secara umum.(*/edi)