Pemalakan Wisatawan di Padang Mausui Viral, Pemda Manggarai Timur Buka Ruang Dialog

Pemalakan Wisatawan di Padang Mausui Viral, Pemda Manggarai Timur Buka Ruang Dialog. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -— Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), akhirnya angkat suara terkait dugaan pemalakan terhadap wisatawan di kawasan wisata alam Padang Mausui, yang belakangan viral di media sosial.
Kejadian itu mencuat setelah akun TikTok @vesmet_journey mengunggah pengalaman tidak menyenangkan saat berkunjung ke savana cantik tersebut. Dalam video yang diunggah Kamis (12/6/2025), wisatawan asal Jakarta mengaku diminta sejumlah uang oleh warga setempat secara tidak resmi.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Timur, Rofinus Hibur Hijau, saat dikonfirmasi di Labuan Bajo, Senin (16/6/2025), menegaskan bahwa lokasi Padang Mausui memang berada di atas lahan milik pribadi, yang dikuasai oleh warga dan suku-suku adat di sekitar kawasan tersebut.
“Karena itu, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengatur atau mengintervensi pengelolaan destinasi ini, termasuk pembangunan infrastruktur, amenitas wisata, maupun pungutan retribusi,” ujar Rofinus.
Meski demikian, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tidak menutup mata. Rofinus menyampaikan kesiapan pihaknya untuk memfasilitasi dialog terbuka dengan berbagai pemangku kepentingan—mulai dari Camat Kota Komba, Lurah Watu Nggene, Kapolpos Wae Lengga, komunitas pemuda, hingga para pemilik lahan.
Menurutnya, pendekatan dialogis ini penting agar keindahan dan potensi ekonomi dari kawasan Padang Mausui bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan, sekaligus menjamin kenyamanan dan keamanan pengunjung.
Padang Mausui sendiri merupakan destinasi alam yang mulai dilirik wisatawan karena keindahan sabananya yang eksotik dan suasana alami yang menenangkan. Namun, belum adanya pengelolaan formal membuat potensi konflik antara pemilik lahan dan pengunjung kerap terjadi, seperti yang terlihat dalam video viral tersebut.
Di sisi lain, pihak kepolisian dilaporkan telah memanggil warga yang terlibat dalam kejadian itu untuk dimintai keterangan. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya menjaga citra pariwisata dan menjamin rasa aman bagi pelancong.
Kejadian ini menjadi pengingat penting bahwa pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan tata kelola yang inklusif—menggabungkan hak-hak masyarakat adat, regulasi yang jelas, dan pendekatan partisipatif demi menciptakan ekosistem wisata yang ramah dan berkelanjutan. (*)