Klappertaart: Hidangan Khas Manado Hasil Perpaduan Dua Bu-daya

Mencicipi Akulturasi Belanda-Manado Lewat Klappertaart. -foto _ net.--

Radarlambar.Bacakoran.co - Manado tidak hanya dikenal dengan keragaman budaya dan toleransinya, tapi juga memiliki kekayaan kuliner yang sarat nilai historis. Salah satu sajian khas yang paling mencolok ada-lah klappertaart kue kelapa lembut dengan rasa manis-gurih yang meru-pakan hasil perjumpaan budaya lokal dengan pengaruh Eropa, khususnya Belanda.

Klappertaart bukan sekadar sajian penutup. Di balik kelembutannya, ter-simpan kisah panjang sejarah kolonialisme yang berkelindan dengan kre-ativitas perempuan-perempuan Belanda yang dahulu bermukim di tanah Sulawesi Utara. Dari pertemuan budaya itulah, lahir kudapan istimewa yang kini melekat sebagai identitas kuliner Manado.

Wilayah yang kini dikenal sebagai Manado dulunya bernama Wenang. Nama ini berubah sekitar akhir abad ke-17. Meski ada perbedaan pen-dapat di kalangan sejarawan, sejumlah dokumen menyebut pergantian nama terjadi pada 1682. Namun, sebagian lainnya berargumen bahwa Belanda yang telah menguasai wilayah tersebut sejak 1670-an melalui VOC lah yang menetapkan nama Manado secara resmi.

Nama “Manado” mulai digunakan dalam dokumen resmi pemerintahan kolonial untuk menggantikan sebutan Wenang. Sebagai bentuk pelestari-an, nama pulau asalnya kemudian ditambah embel-embel “Tua”, menjadi Manado Tua. Kawasan ini menjadi saksi bisu bagaimana budaya lokal bersentuhan erat dengan pengaruh luar, termasuk dalam urusan cita rasa.

Manado dikenal sebagai kota yang terbuka terhadap berbagai budaya. Karakter masyarakatnya yang inklusif memungkinkan banyak kebiasaan asing dapat diterima dan disesuaikan dengan budaya lokal. Tak heran jika sejumlah kuliner khas daerah ini memiliki ciri khas unik yang berbeda dari daerah lainnya di Indonesia.

Bahan-bahannya tergolong mahal dan sulit didapatkan pada masa itu. Su-su dan turunannya, misalnya, masih harus didatangkan dari daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Bandung, Malang, Boyolali, Semarang, dan Pasuruan. Demikian pula dengan bahan pelengkap seperti raisin (anggur kering), kacang kenari, dan rum.

Meski demikian, wanita-wanita Belanda yang menetap di Manado tetap berusaha menghadirkan sajian istimewa tersebut dalam berbagai perayaan keluarga. Mereka mengombinasikan teknik memasak ala Eropa dengan bahan lokal, lalu menyebarkan resepnya kepada para pekerja rumah tang-ga dari kalangan masyarakat setempat. Resep itu pun perlahan menyebar dari dapur rumah kolonial ke masyarakat luas, dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Seiring berjalannya waktu, klappertaart mengalami berbagai adaptasi, baik dari segi bahan maupun cara penyajian. Kini, terdapat dua metode umum untuk membuat klappertaart: dikukus dan dipanggang. Klapper-taart kukus memiliki tekstur yang lembut dan creamy, mirip puding. Bi-asanya disajikan dalam cup aluminium kecil agar mudah disantap lang-sung dengan sendok. Sementara klappertaart panggang cenderung lebih padat dan legit. Umumnya dibuat dalam loyang besar, lalu dipotong-potong saat disajikan.

Keduanya memiliki penggemar masing-masing, namun tetap memper-tahankan cita rasa khas yang menjadi ciri utama klappertaart: manis yang tidak berlebihan, aroma kelapa muda yang kuat, dan sensasi gurih dari campuran susu dan kuning telur.

Popularitas klappertaart kini tak hanya terbatas di Sulawesi Utara. Kuda-pan ini sudah menyebar ke berbagai kota di Indonesia dan kerap menjadi oleh-oleh wajib bagi wisatawan yang berkunjung ke Manado. Inovasi ju-ga bermunculan. Beberapa varian menambahkan topping keju, kayu ma-nis, bahkan rum atau bahan kekinian seperti almond dan kismis impor.

Tak sedikit pula UMKM dan toko kue di luar Manado yang kini turut memproduksi klappertaart, menandakan bahwa kue ini telah menjadi ba-gian dari kekayaan kuliner nasional. Meski banyak mengalami modifi-kasi, klappertaart tetap mempertahankan ciri utamanya: sebagai simbol percampuran budaya yang lahir dari sejarah panjang bangsa.

Klappertaart bukan hanya kue penutup. Ia adalah representasi dari keterbukaan masyarakat Manado terhadap dunia luar, sekaligus cermin bagaimana budaya asing dapat diolah dan diadaptasi menjadi bagian dari identitas lokal. Dari rumah-rumah kolonial di pesisir Sulawesi hingga meja makan keluarga masa kini, klappertaart terus hadir, membawa serta kenangan sejarah dan kehangatan rasa.(yayan/*) 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan