Inggris, Palestina, dan Bayang-bayang Panjang Sejarah Zionisme

Solidaritas Bela Palestina Warnai Kawasan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Foto/net--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Pernyataan terbaru Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, yang mengancam akan mengakui negara Palestina jika Israel tak menghentikan penderitaan di Gaza, kembali membuka lembaran sejarah panjang dan rumit antara Inggris dan isu Palestina-Israel. Di balik sikap tegas ini, tersimpan jejak historis Inggris sebagai salah satu arsitek utama terbentuknya negara Zionis di tanah Palestina.

Asal-usul Zionisme modern tak hanya berasal dari pemikiran Yahudi Eropa, melainkan juga dari keyakinan religius kalangan Kristen Puritan di Inggris pada abad ke-17. Mereka meyakini bahwa kembalinya bangsa Yahudi ke Yerusalem akan mempercepat kedatangan kedua Yesus Kristus. Pandangan ini—yang lebih dikenal sebagai Christian Zionism—justru mendahului kepercayaan serupa di kalangan Yahudi, yang saat itu masih menunggu kedatangan Mesias sebelum pulang ke tanah suci.

Gagasan semacam ini kian menguat seiring waktu. Sejumlah pendeta terkemuka seperti Charles Simeon dan CH Spurgeon bahkan menyerukan secara terbuka agar orang Yahudi dikembalikan ke tanah nenek moyangnya. Hal ini jauh mendahului Theodor Herzl yang menulis Der Judenstaat pada akhir abad ke-19, manifesto yang kemudian menjadi tonggak utama gerakan Zionisme sekuler.

Setelah kekalahan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I, Inggris dan Prancis membagi wilayah Timur Tengah melalui perjanjian rahasia Sykes-Picot. Berdasarkan perjanjian itu, Inggris menguasai wilayah Palestina dan menjadikannya sebagai wilayah mandat. Kepada masyarakat Arab, Inggris sempat menjanjikan kemerdekaan bila mereka membantu melawan Turki. Namun janji itu dilanggar ketika pada 1917 muncul Deklarasi Balfour—surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour—yang menyatakan dukungan resmi terhadap pembentukan "tanah air bagi bangsa Yahudi" di Palestina.

Deklarasi ini memicu gelombang migrasi Yahudi ke Palestina dan berdirinya komunitas Yishuv—cikal bakal pemukiman Zionis. Ketegangan pun meningkat antara penduduk Arab dan imigran Yahudi, sementara Inggris mencoba menyeimbangkan kepentingan kedua pihak, meski banyak kebijakan justru dinilai berpihak kepada kaum Zionis.

Pada tahun 1936-1939, pecah Pemberontakan Arab sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kolonial Inggris dan imigrasi Yahudi yang terus meningkat. Dalam situasi ini, kelompok milisi Yahudi seperti Haganah justru mendapat pelatihan dan dukungan dari Inggris, bahkan membentuk pasukan polisi sendiri, Notrim. Haganah kelak menjadi tulang punggung militer Israel modern (IDF).

Setelah Perang Dunia II dan tragedi Holocaust, tekanan internasional untuk mendirikan negara Yahudi semakin besar. Inggris yang tak lagi mampu mengendalikan situasi menyerahkan persoalan Palestina ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 1947, PBB mengusulkan rencana pembagian wilayah antara Yahudi dan Arab. Meski mayoritas lahan masih dikuasai rakyat Palestina, 55% wilayah diberikan kepada entitas Yahudi, sementara Yerusalem dijadikan wilayah internasional. Negara-negara Arab menolak proposal ini karena dianggap tidak adil.

Inggris mengakhiri mandatnya pada 14 Mei 1948. Di hari yang sama, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memproklamasikan berdirinya negara Israel. Keputusan ini memicu perang dengan negara-negara Arab dan menjadi awal dari eksodus massal warga Palestina. Sekitar 700.000 warga terusir dari tanah kelahiran mereka, dalam peristiwa yang kini dikenal sebagai Nakba (malapetaka).

Meskipun hubungan Inggris dan Israel sempat renggang, keduanya kembali menjalin aliansi strategis dalam Krisis Suez 1956, saat mereka bersama Prancis melancarkan serangan terhadap Mesir sebagai respons atas nasionalisasi Terusan Suez oleh Presiden Gamal Abdel Nasser.

Hingga kini, Inggris dan Israel tetap menjaga hubungan erat, termasuk dalam bidang militer. Pada November 2021, kedua negara menandatangani pakta pertahanan dan perdagangan selama 10 tahun. Namun kerja sama ini kembali menjadi sorotan setelah Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza pasca peristiwa 7 Oktober.

Masyarakat internasional mulai mempertanyakan peran Inggris, terutama dalam penjualan senjata dan dukungan logistik kepada Israel. Sejak 2015, pemerintah Inggris telah menyetujui ekspor persenjataan ke Israel senilai lebih dari 676 juta dolar AS. Komponen buatan Inggris bahkan digunakan dalam pesawat tempur F-35, yang berperan dalam serangan udara ke Gaza.

Meski pemerintah Inggris saat ini telah menangguhkan puluhan izin ekspor senjata, suku cadang F-35 tetap dikirim sebagai bagian dari kontrak global. Pemerintah berdalih tidak dapat menghentikan aliran komponen tersebut karena tidak dikirim langsung ke Israel.

Lebih jauh lagi, militer Inggris juga terlibat dalam pengintaian udara atas Gaza. Sejak Desember 2023, Angkatan Udara Inggris telah menjalankan ratusan misi pengawasan menggunakan pesawat mata-mata berbasis di Siprus. Beberapa drone bahkan digunakan untuk membantu pencarian sandera yang ditahan Hamas.

Pada saat yang sama, keberadaan pesawat-pesawat militer Israel di wilayah udara Inggris dan pangkalan RAF diidentifikasi melalui situs pelacakan penerbangan, menunjukkan intensitas hubungan militer yang terus berlangsung di balik layar.

Kini, dengan meningkatnya tekanan publik dan berbagai laporan mengenai korban sipil di Gaza, pernyataan Keir Starmer membuka kembali pertanyaan lama: sampai kapan Inggris akan menebus warisan sejarahnya di Palestina?




Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan