Badan Pangan Larang Ritel Tarik Beras di Tengah Kasus Oplosan

Bos Badan Pangan Arief Prasetyo mengimbau pihak ritel untuk menjual beras yang tidak memenuhi standar mutu premium, tetapi harganya diturunkan. -Foto CNN Indonesia-
Radarlambar.bacakoran.co - Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) menegaskan bahwa stok beras yang beredar di pasaran, meski terindikasi tidak memenuhi standar mutu premium, tidak boleh ditarik dari peredaran. Sebagai gantinya, pelaku ritel diminta untuk menyesuaikan harga jual sesuai dengan kualitas isi dalam kemasan.
Kebijakan ini diterapkan guna mencegah terjadinya kekosongan pasokan di pasar serta menjaga stabilitas distribusi dan aksesibilitas pangan di tengah masyarakat. Bapanas menilai bahwa meskipun terdapat penyimpangan mutu antara isi dan label kemasan, kualitas beras secara umum masih layak konsumsi, hanya saja perlu dilakukan penyesuaian harga agar tidak merugikan konsumen.
Imbauan ini secara resmi telah disampaikan kepada Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melalui surat bernomor 589/TS.02.02/B/07/2025 tertanggal 25 Juli 2025. Dalam surat tersebut, Bapanas menekankan bahwa seluruh stok yang sudah berada di gudang maupun di rak-rak penjualan tetap dijual seperti biasa. Namun, untuk produk yang tidak memenuhi spesifikasi beras premium, pelaku usaha diwajibkan untuk menurunkan harga agar mencerminkan kualitas sebenarnya.
Langkah ini ditempuh sebagai bagian dari strategi mitigasi agar tidak terjadi kepanikan atau kekurangan barang seperti yang pernah dialami saat krisis minyak goreng beberapa waktu lalu. Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat tetap dapat mengakses beras dengan harga yang wajar dan sesuai standar.
Menurut data Panel Harga Pangan Nasional per 28 Juli 2025, harga beras premium mulai menunjukkan tren penurunan. Di Zona 1, harga turun dari Rp15.500 menjadi Rp15.489 per kilogram; di Zona 2 dari Rp16.583 menjadi Rp16.572 per kilogram; sementara di Zona 3, harga turun dari Rp18.159 menjadi Rp18.150 per kilogram. Penurunan ini menjadi sinyal positif atas efektivitas pendekatan yang diambil oleh pemerintah.
Pemerintah melalui Bapanas dan Satgas Pangan Polri juga menekankan pendekatan ultimum remedium, yaitu mendorong perbaikan internal terlebih dahulu sebelum melakukan penindakan hukum, selama tidak terjadi pelanggaran berat. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan stabilitas distribusi tanpa menimbulkan kegaduhan baru di tengah masyarakat.
Namun demikian, pemerintah tetap menyiagakan langkah hukum apabila ditemukan pelaku usaha yang terbukti melakukan manipulasi produk pangan secara sistematis, seperti mencampur beras subsidi dengan beras non-subsidi atau mengganti kemasan untuk mengelabui konsumen. Dalam hal ini, Kejaksaan Agung dan kepolisian telah dilibatkan secara aktif untuk memastikan penegakan hukum berjalan seimbang dengan upaya stabilisasi.
Pemerintah juga memberikan perhatian khusus terhadap distribusi beras dalam program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Penyaluran beras dari Bulog dalam program ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Praktik mencampur beras SPHP dengan jenis lain atau memanipulasi kemasan dianggap sebagai pelanggaran pidana dan akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Sebagai upaya mendukung ketahanan pangan nasional, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,3 triliun dari APBN untuk mendanai program SPHP selama periode Juli hingga Desember 2025. Dana ini digunakan untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan beras bagi masyarakat berpendapatan rendah. Oleh karena itu, segala bentuk penyalahgunaan dalam program ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap kepentingan publik dan tidak akan ditoleransi.(*/edi)