Sagu, Identitas Pangan dan Warisan Budaya Papua Barat

Ada beragam olahan kuliner sagu di Provinsi Papua Barat salah satunya adalah Papeda atau bubur sagu. -Foto _ Net.-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, keberadaan nasi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pola makan sehari-hari. Namun, kebiasaan tersebut tidak berlaku di Papua Barat. Di wilayah timur Indonesia ini, masyarakat justru menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Lebih dari sekadar sumber karbohidrat, sagu telah menyatu dengan budaya dan kehidupan sosial masyarakat setempat.
Sagu berasal dari batang pohon rumbia (Metroxylon sagu), tanaman tropis yang tumbuh baik di kawasan rawa, tepi sungai, dan lahan basah yang kaya air. Tanaman ini bisa menjulang hingga 20–30 meter, dengan batang besar yang menyimpan cadangan pati. Data ini menunjukkan potensi sagu yang sangat besar untuk mendukung kebutuhan pangan. Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan produksi sagu terbesar di dunia, sebagian besar tumbuh di wilayah Papua dan Maluku.
Tidak hanya mengenyangkan, sagu juga menyimpan banyak manfaat kesehatan. Beberapa penelitian juga menunjukkan sagu berkhasiat membantu meredakan gangguan pencernaan seperti perut kembung dan sakit ulu hati, serta dapat menekan risiko obesitas, pengerasan pembuluh darah, hingga penyakit kronis seperti kanker usus dan paru-paru.
Dalam kehidupan masyarakat Papua Barat, sagu bukan sekadar makanan pokok, melainkan simbol kehidupan yang sarat makna. Beberapa kelompok adat bahkan menyebut sagu dengan nama khusus, misalnya Suku Yaur yang menyebutnya Moore dan Suku Moi yang menamainya Hi. Penghormatan terhadap sagu tampak jelas dalam berbagai upacara adat, mulai dari kelahiran hingga prosesi kematian, di mana sagu selalu dihadirkan sebagai bagian penting dari ritual.
Dari sisi kuliner, Papeda adalah olahan sagu yang paling dikenal luas. Meski terlihat sederhana, proses membuat Papeda membutuhkan keahlian. Tepung sagu harus disiram air mendidih, lalu diaduk dengan alat khusus berbentuk sumpit bambu. Jika air tidak cukup panas atau adukan tidak merata, Papeda tidak akan terbentuk sempurna.
Karena rasanya tawar, Papeda biasanya disajikan dengan ikan kuah kuning yang kaya bumbu rempah. Ikan tongkol sering dipilih sebagai pasangan utama, meski jenis lain seperti kakap merah atau ikan kue juga lazim digunakan.
Papeda juga memiliki dimensi sosial. Dalam berbagai acara adat maupun pertemuan keluarga, makanan ini kerap menjadi simbol kebersamaan. Hidangan biasanya disajikan di tengah dan disantap bersama-sama, mencerminkan eratnya ikatan kekeluargaan dan nilai gotong royong masyarakat setempat.
Selain bernilai budaya, sagu juga menyimpan potensi besar dari sisi ekonomi dan ketahanan pangan. Dengan luasnya lahan basah di Papua, produksi sagu dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor. Tren konsumsi pangan sehat dan alami yang semakin meningkat juga membuka peluang bagi sagu untuk berkembang sebagai komoditas unggulan Indonesia.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Proses pengolahan sagu sebagian besar masih dilakukan secara tradisional, sehingga nilai tambah produk belum maksimal. Pengembangan teknologi pascapanen dan penguatan rantai distribusi menjadi langkah penting agar sagu bisa memberikan manfaat ekonomi lebih luas, sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat Papua Barat.
Di tengah ancaman krisis pangan global dan perubahan iklim, sagu bisa menjadi salah satu jawaban bagi Indonesia untuk menghadirkan pangan sehat, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Dengan pengelolaan yang tepat, sagu dapat terus lestari sebagai identitas kuliner sekaligus penopang ketahanan pangan nasional di masa depan.(*/yayan)