Lumpia Semarang, Kisah Akulturasi Kuliner Tionghoa dan Jawa

Lumpia kuliner dengan perpaduan resep Jawa dan Tionghoa. -Foto _ Net.-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Mengunjungi Kota Semarang seakan tidak lengkap bila belum mencicipi lumpia, makanan khas yang telah melekat sebagai identitas kuliner daerah tersebut. Kota yang oleh orang Belanda dijuluki Venetia van Java ini bukan hanya kaya akan bangunan kolonial dan nuansa sejarah, tetapi juga dikenal sebagai surga bagi penikmat hidangan tradisional. Di antara sekian banyak kuliner yang ditawarkan, lumpia menempati posisi istimewa hingga membuat Semarang dijuluki “Kota Lumpia”.
Julukan itu lahir karena lumpia memang tumbuh dan berkembang di Semarang. Popularitasnya tidak hanya bertahan dari generasi ke generasi, tetapi juga berhasil menembus batas daerah hingga dikenal secara nasional. Bahkan, jajanan ini kerap menjadi oleh-oleh wajib bagi wisatawan yang berkunjung ke ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Lumpia kerap disebut juga “lunpia”. Sejumlah sumber menyebut istilah ini berasal dari dialek Hokkian. Kata lun berarti lunak, sedangkan pia bermakna kue. Pada masa lampau, sajian ini memang tidak digoreng sehingga teksturnya cenderung lembut. Seiring waktu, cara penyajiannya berkembang: lumpia dapat dinikmati dalam versi basah maupun goreng. Lumpia goreng memiliki kulit yang renyah di luar namun tetap lembut di bagian dalam, menjadikannya favorit bagi banyak orang.
Ada pula pendapat yang menafsirkan kata lunpia sebagai gabungan dua bahasa. Kata pia dari dialek Hokkian bermakna kue, sementara kata lun dalam bahasa Jawa diartikan sebagai gulung. Jika digabungkan, maka lunpia bermakna kue gulung, sesuai dengan teknik pembuatannya yang menggunakan kulit tipis berbahan tepung untuk membungkus isian.
Lumpia Semarang lahir dari proses akulturasi antara tradisi kuliner Tionghoa dan Jawa. Sekitar awal 1900-an, seorang pria keturunan Tionghoa asal Fujian bernama Tjoa Thay Yoe menetap di Semarang. Ia memperkenalkan kudapan bernama chun juan atau kue gulung yang berisi daging babi dan rebung, bercita rasa gurih serta asin. Hidangan tersebut sangat digemari oleh masyarakat Tionghoa yang tinggal di kota pesisir itu.
Pada waktu yang sama, seorang perempuan Jawa bernama Wasih juga menjajakan jajanan serupa. Bedanya, ia menggunakan isian berupa udang dan kentang, sehingga cita rasanya lebih manis dan sesuai dengan selera masyarakat lokal. Kedekatan lokasi serta kemiripan usaha keduanya justru mempertemukan Tjoa Thay Yoe dan Wasih hingga akhirnya menikah. Dari percampuran dua resep inilah lahir lumpia Semarang, yang menghadirkan kombinasi rasa manis, gurih, dan asin dalam satu gigitan. Isian lumpia kemudian berkembang menjadi lebih beragam, seperti udang, ayam, rebung, dan berbagai rempah khas.
Dalam perjalanannya, lumpia tidak hanya bertahan pada bentuk awal. Seiring dengan kreativitas para pedagang, muncul beragam variasi isian, mulai dari daging kambing hingga bengkuang. Inovasi tersebut semakin memperkaya cita rasa lumpia sekaligus menunjukkan fleksibilitas kuliner ini dalam mengikuti selera masyarakat yang terus berubah.
Perubahan juga terjadi pada penyebutannya. Konon, istilah “lunpia” beralih menjadi “lumpia” pada masa kolonial Belanda. Hal ini berkaitan dengan lokasi penjualan jajanan tersebut yang banyak ditemui di kawasan Olympia Park. Seiring berjalannya waktu, sebutan “lumpia” lebih mudah diterima lidah masyarakat dan akhirnya menjadi istilah resmi hingga sekarang.
Pengakuan terhadap lumpia Semarang tidak berhenti di tingkat lokal. Pada tahun 2014, pemerintah menetapkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Jawa Tengah. Keputusan ini menandai pentingnya lumpia sebagai bagian dari khazanah kuliner Nusantara sekaligus simbol akulturasi budaya.
Dengan pengakuan tersebut, lumpia tidak hanya dipandang sebagai makanan ringan, melainkan juga sebagai identitas budaya Semarang. Ia menjadi bukti nyata bahwa kuliner dapat mempertemukan dua tradisi berbeda, menghasilkan harmoni rasa, dan diwariskan lintas generasi.
Hingga kini, lumpia tetap menjadi buruan wisatawan yang datang ke Semarang. Banyak pengunjung rela mengantre demi memperoleh lumpia dari penjual legendaris yang sudah berjualan turun-temurun. Bagi sebagian orang, membawa pulang lumpia sebagai oleh-oleh menjadi keharusan sebelum meninggalkan kota ini.
Perpaduan kulit tipis yang membungkus isian rebung, udang, atau ayam yang dibumbui dengan racikan khas membuat lumpia memiliki aroma serta rasa yang sulit ditandingi. Menyantap lumpia langsung di kota asalnya, sambil menikmati suasana Semarang yang sarat akan nuansa sejarah, menghadirkan pengalaman kuliner yang tak tergantikan.
Lebih dari sekadar jajanan, lumpia Semarang adalah cerminan harmoni budaya. Dari kisah pertemuan dua pedagang dengan latar belakang berbeda, tercipta kuliner yang kini menjadi ikon kota. Perpaduan rasa gurih ala Tionghoa dengan sentuhan manis khas Jawa menghadirkan identitas baru yang diterima oleh semua kalangan.
Tidak berlebihan bila lumpia disebut sebagai simbol penyatu perbedaan di meja makan. Ia bukan hanya sekadar kebanggaan warga Semarang, melainkan juga bagian dari warisan kuliner Indonesia yang layak dijaga kelestariannya. Bagi siapa pun yang berkunjung ke Venetia van Java, menyantap lumpia adalah pengalaman yang sebaiknya tidak dilewatkan.(*/yayan)