RUU Perampasan Aset Disorot: Masyarakat Sipil Minta Negara Tegas Rampas Harta Koruptor

17 Tahun Perjalanan Panjang RUU Perampasan Aset yang Tak Kunjung Disahkan. -Foto ilustrasi-
RADARLAMBARBACAKORAN.CO – Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menguat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan rancangan aturan ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025. Namun, pembahasan regulasi tersebut mendapat perhatian serius dari berbagai elemen masyarakat sipil yang menyoroti sejumlah aspek krusial dalam isi RUU, mulai dari batas nilai harta yang dapat dirampas hingga pengaturan soal kekayaan tak wajar milik pejabat publik.
Dalam draf RUU versi terakhir yang beredar pada April 2023, diatur bahwa hanya harta kekayaan dengan nilai minimal Rp100 juta yang bisa dirampas negara melalui proses hukum, dengan syarat aset tersebut berkaitan dengan tindak pidana berat yang diancam pidana penjara minimal empat tahun. Ketentuan ini dinilai perlu dikaji ulang karena tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional yang terus berubah, seperti inflasi, nilai tukar, serta dinamika tindak pidana ekonomi yang kian kompleks.
Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari sejumlah lembaga pemantau antikorupsi dan studi kebijakan hukum, mendorong agar pemerintah dan DPR tidak hanya fokus pada jumlah, tetapi juga memperhatikan subtansi keadilan dalam implementasinya. Menurut mereka, pembatasan nominal minimum tanpa fleksibilitas berpotensi menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Tak hanya itu, kelompok masyarakat sipil juga menekankan pentingnya memasukkan konsep unexplained wealth atau harta kekayaan tak jelas asal-usulnya ke dalam RUU ini. Dalam konteks penegakan hukum antikorupsi, keberadaan harta yang tak sebanding dengan pendapatan resmi pejabat negara selama menjabat kerap menjadi sinyal awal terjadinya pengayaan ilegal. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme hukum yang memberikan wewenang kepada negara untuk menyita aset tersebut tanpa harus melalui pembuktian panjang di pengadilan.
Dalam praktiknya, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebenarnya bisa menjadi alat bantu yang efektif untuk menelusuri lonjakan kekayaan pejabat. Namun, tanpa adanya perangkat hukum yang mengatur secara eksplisit perampasan terhadap harta tak wajar, laporan semacam itu akan berhenti sebatas data administratif tanpa tindak lanjut konkret.
RUU Perampasan Aset sejatinya telah lama berada dalam daftar tunggu pembahasan. Usulan awalnya muncul sejak 2012, setelah kajian panjang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008. Namun, hingga masa sidang terakhir DPR periode 2019–2024, pembahasan belum pernah masuk ke tahap pembicaraan substansi.
Kini, di bawah Prolegnas 2025, DPR menyatakan komitmennya untuk segera merampungkan regulasi ini. Targetnya adalah agar RUU tersebut bisa menjadi landasan hukum yang kuat dalam mengembalikan aset negara hasil kejahatan yang selama ini sulit dijangkau melalui jalur hukum konvensional.
Meski begitu, proses legislasi tetap dituntut untuk melibatkan publik secara aktif. Prinsip partisipasi bermakna harus dijalankan dengan menyampaikan isi RUU secara terbuka dan menyeluruh kepada masyarakat. Tidak cukup hanya menyebarluaskan judul atau ringkasan, namun publik harus memahami dampak, tujuan, serta mekanisme pelaksanaan dari aturan ini.
RUU ini juga diharapkan memberikan kejelasan mengenai status perampasan aset dalam sistem hukum nasional. Apakah masuk dalam kategori pidana pokok, pidana tambahan, atau berbasis gugatan perdata? Kepastian ini penting untuk menghindari tumpang tindih antara ranah pidana dan perdata yang selama ini kerap menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya.
Melalui pembahasan yang terbuka dan substansial, publik berharap RUU Perampasan Aset dapat segera disahkan tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan supremasi hukum. Kehadiran regulasi ini menjadi harapan baru dalam upaya pemberantasan korupsi dan pemulihan aset negara secara lebih efektif dan menyeluruh. (*/rinto)