Pembeli LPG 3 Kg Kini Tercatat, Subsidi Energi Masuk Era Baru

PT Pertamina Patra Niaga melaporkan seluruh pembeli LPG 3 Kg sudah terdata 100 persen, meski pengaturan pembatasan belum diterapkan. -Foto Dok---
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - PT Pertamina Patra Niaga (PPN) memastikan seluruh pembeli LPG subsidi tabung 3 kilogram kini sudah terdata secara penuh menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pencapaian ini dilaporkan Direktur Utama PPN Mars Ega Legowo dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (11/9).
Meski kebijakan pembatasan distribusi belum dijalankan, perusahaan menegaskan sistem digitalisasi sudah siap. Pertamina Patra Niaga telah membangun jaringan distribusi yang luas, yakni 269 ribu titik penyalur resmi LPG subsidi di seluruh Indonesia. Infrastruktur ini memungkinkan pendistribusian lebih transparan dan pengawasan ketat agar subsidi benar-benar sampai kepada kelompok masyarakat berhak.
Pendataan LPG 3 Kg melalui NIK merupakan bagian dari program besar pemerintah dan Pertamina untuk menciptakan subsidi energi yang lebih tepat sasaran. Sebelumnya, langkah serupa telah diterapkan pada distribusi solar dan biosolar yang sudah 100 persen berbasis Quick Response (QR) Code. Bahkan, rencana untuk Pertalite juga ditargetkan rampung tahun ini.
Menurut Mars Ega, pola baru ini akan menutup celah kebocoran penyaluran energi bersubsidi yang selama bertahun-tahun kerap menjadi masalah. Dengan digitalisasi, pemerintah dapat memantau realisasi distribusi hingga ke tingkat konsumen akhir.
Efek langsung dari sistem baru ini terlihat pada konsumsi energi subsidi yang mulai terkendali. Hingga Juli 2025, realisasi penyaluran Pertalite tercatat 10 persen di bawah kuota, sementara solar subsidi lebih rendah 3 persen dari kuota.
Kondisi ini memberikan dua implikasi penting. Pertama, anggaran subsidi negara bisa lebih terjaga di tengah tekanan fiskal. Kedua, ruang fiskal yang lebih sehat dapat dialihkan untuk program lain seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Ekonom energi dari Universitas Indonesia, Arif Budiman, menilai digitalisasi subsidi energi bukan sekadar soal efisiensi, melainkan juga instrumen kebijakan fiskal. Menurutnya, pengendalian subsidi LPG dan BBM akan mengurangi pemborosan belanja negara, sekaligus mendorong masyarakat untuk perlahan beralih ke produk non-subsidi.
Seiring dengan pengendalian distribusi subsidi, Pertamina mencatat adanya pergeseran konsumsi. Penjualan Pertamax, misalnya, meningkat hingga 24 persen pada semester pertama 2025. Hal ini menandakan sebagian konsumen mulai beralih ke BBM non-subsidi, baik karena ketersediaannya yang lebih mudah maupun dorongan regulasi.
Di sisi lain, masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas kini lebih terbiasa menggunakan energi non-subsidi, sehingga ruang fiskal pemerintah dapat lebih difokuskan kepada kelompok rentan yang benar-benar membutuhkan bantuan energi murah.
Pencapaian digitalisasi 100 persen LPG 3 Kg ini juga dipandang sebagai bagian dari tahapan menuju reformasi energi nasional. Pemerintah menargetkan pengelolaan energi subsidi berbasis data dapat menjadi pijakan untuk melangkah ke program transisi energi yang lebih ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif Energy Reform Institute, Niken Anindya, menyebut keberhasilan mendata pembeli LPG 3 Kg akan menjadi model awal bagi skema penyaluran energi transisi di masa depan, termasuk untuk produk energi baru terbarukan (EBT). Menurutnya, jika basis data subsidi sudah kuat, pemerintah bisa lebih mudah mengalihkan bantuan dari energi fosil ke energi hijau, misalnya ke listrik rumah tangga atau kompor induksi.
Dengan pendataan yang kini rampung, Pertamina Patra Niaga menegaskan siap menjalankan kebijakan pembatasan bila regulasi pemerintah sudah terbit. Artinya, subsidi energi ke depan akan semakin diarahkan ke rumah tangga berpendapatan rendah, usaha mikro, serta sektor lain yang memang dilindungi.(*/edi)