Nasi Astakona, Warisan Kuliner Banjar untuk Menyambut Tamu Kehormatan

Nasi astakona sudah ada sejak masa Kesultanan Banjar. -Foto ; Net.-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Masyarakat Jawa mengenal nasi tumpeng sebagai sajian istimewa yang kerap hadir dalam berbagai perayaan, mulai dari syukuran hingga penyambutan tamu penting. Hidangan berbentuk kerucut dengan aneka lauk-pauk tersebut tidak hanya berfungsi sebagai santapan, melainkan juga sarat makna filosofis.
Namun, tradisi kuliner serupa ternyata juga dimiliki oleh masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Di daerah yang dikenal dengan sebutan Kota Seribu Sungai ini, ada satu sajian khusus bernama nasi astakona yang memiliki kedudukan penting dalam adat istiadat.
Istilah astakona berasal dari sastra lama yang berarti segi banyak. Hal tersebut mencerminkan cara penyajiannya yang menggunakan nampan bersegi dengan jumlah ganjil, biasanya tiga atau lima. Angka ganjil dipilih karena masyarakat Banjar, yang mayoritas beragama Islam, memaknai bilangan ganjil sebagai angka penuh berkah.
Nampan-nampan itu disusun bertingkat, mulai dari ukuran terbesar di bagian bawah hingga yang lebih kecil di atas. Tinggi rendahnya tingkatan melambangkan tingkat kehormatan sebuah acara maupun tamu yang hadir. Jika disajikan dengan lima tingkatan, biasanya itu menandakan bahwa yang datang adalah tamu agung, misalnya saat kesultanan menerima kunjungan pejabat penting.
Tradisi penyajian nasi astakona sesungguhnya telah ada sejak masa Kesultanan Banjar. Pada masa itu, hidangan ini dihidangkan dalam upacara adat, acara syukuran, hingga pertemuan resmi kerajaan. Seiring berjalannya waktu, nasi astakona juga menjadi bagian dari pesta pernikahan masyarakat Banjar sebagai simbol eratnya ikatan kekeluargaan antar kedua mempelai dan keluarga besar mereka.
Nilai kebersamaan yang terkandung di dalamnya membuat sajian ini tetap lestari hingga sekarang. Jika dilihat dari susunannya, nasi astakona memiliki kemiripan dengan tumpeng Jawa, yakni sama-sama disajikan bersama aneka lauk dan hidangan pendamping. Namun, ada makna filosofis yang menyertai setiap komponennya. Tiga unsur utama harus selalu hadir, yaitu nasi, buah-buahan, serta lauk yang mewakili unsur air. Ketiga elemen ini dianggap merepresentasikan hubungan manusia dengan alam, meliputi tanah, udara, dan air.
Unsur tanah diwujudkan dalam bentuk nasi yang bisa berupa nasi kuning, nasi putih, ataupun nasi kebuli. Nasi diletakkan di nampan terbesar yang berada di tingkatan paling bawah, menandakan bahwa padi sebagai hasil bumi merupakan sumber utama kehidupan. Unsur udara diwakili oleh buah-buahan yang menggantung dari batangnya, seperti nanas, belimbing, jambu air, mentimun, dan tomat.
Sementara itu, unsur air tercermin dari lauk berupa ikan dan udang galah. Udang galah, atau Macrobrachium rosenbergii, adalah bahan makanan istimewa yang kerap hadir dalam sajian ini. Berasal dari perairan tawar di sekitar Banjarmasin, udang berukuran besar dengan cita rasa gurih tersebut menjadi kebanggaan kuliner masyarakat Banjar.
Selain udang dan ikan, nasi astakona juga dilengkapi dengan ayam lenggang kencana, yaitu ayam utuh dari kepala hingga ceker, serta sate babakong yang terbuat dari hati sapi. Sate tersebut unik karena ditusukkan pada lidi dengan ujung yang dibelah menjadi lima, melambangkan lima rukun Islam.
Tidak berhenti sampai di situ, penyajian nasi astakona sering kali ditambah dengan penginangan, tempat berisi sirih, kapur, potongan buah pinang, gambir, dan tembakau, serta aneka manisan atau asinan yang disajikan sebagai kudapan. Kelengkapan tersebut mempertegas makna bahwa hidangan ini tidak semata-mata sekadar makanan, melainkan juga simbol penghormatan, keramahan, dan kesakralan.
Selain cara penyusunan, ada pula aturan tersendiri dalam penyajiannya. Proses penyendokan pertama biasanya dilakukan oleh seorang perempuan tua yang dituakan dalam keluarga atau masyarakat. Hal ini merupakan bentuk penghormatan kepada orang yang dianggap memiliki kebijaksanaan, pengalaman hidup, serta kewibawaan. Di sisi lain, tindakan itu juga dipercaya sebagai simbol doa restu seorang ibu agar tamu kehormatan mendapatkan berkah.
Nilai sejarah dan filosofi yang terkandung dalam nasi astakona membuatnya ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2019. Pengakuan ini sekaligus menegaskan pentingnya pelestarian tradisi kuliner Banjar agar tidak hilang ditelan zaman. Dengan adanya pengakuan tersebut, masyarakat diharapkan semakin bangga dan berupaya menjaga eksistensi sajian khas ini.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke Banjarmasin atau wilayah lain di Kalimantan Selatan, mencicipi nasi astakona tentu menjadi pengalaman yang berkesan. Tidak hanya menyuguhkan kelezatan rasa dari perpaduan nasi, lauk, dan buah-buahan segar, tetapi juga menyampaikan pesan kearifan lokal yang sarat makna. Hidangan ini seolah menjadi jendela untuk memahami cara masyarakat Banjar menghargai alam, menjunjung tinggi tradisi, serta menghormati setiap tamu yang datang.(*/yayan)