Harapan Damai Muncul di Tengah Luka Dua Tahun Perang Gaza

UNGA Jadi Panggung Kecaman Israel atas Gaza--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Dua tahun setelah perang Gaza pecah, upaya menuju perdamaian mulai tampak. Pada Senin (6/10), perwakilan Israel, Hamas, dan Amerika Serikat (AS) bertemu di Kairo, Mesir, dalam negosiasi tidak langsung yang difasilitasi oleh utusan Timur Tengah AS, Steve Witkoff, bersama penasihat senior sekaligus menantu Presiden Donald Trump, Jared Kushner.
Pertemuan ini menjadi bagian dari langkah diplomatik baru untuk menyusun rencana damai yang diharapkan mampu mengakhiri salah satu konflik paling berdarah di Timur Tengah.
Negosiasi digelar di tengah bayang-bayang tragedi 7 Oktober 2023, saat serangan Hamas menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menculik lebih dari 250 orang. Hingga kini, 48 sandera masih diyakini ditahan di Gaza.
Presiden Donald Trump, yang kembali menekan kedua pihak agar mencapai kesepakatan cepat, menyebut upaya ini sebagai kesempatan terakhir untuk menghentikan penderitaan yang telah berlangsung dua tahun. Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga mengonfirmasi bahwa kepala negosiator Ron Dermer akan kembali ke Yerusalem untuk melakukan konsultasi internal setelah tahap awal pembicaraan.
Tahap pertama negosiasi difokuskan pada pertukaran sandera dan tahanan. Hamas dilaporkan telah menerima sebagian unsur rencana damai AS, termasuk pembebasan seluruh sandera dalam waktu tiga hari sebagai imbalan atas pembebasan sejumlah tahanan Palestina.
Tahap kedua pembicaraan akan menjadi yang paling kompleks, yaitu membahas masa depan Gaza: siapa yang akan memerintah wilayah tersebut dan bagaimana memastikan kawasan itu bebas dari kekuatan bersenjata Hamas. Trump menegaskan bahwa Hamas tidak akan dibiarkan kembali berkuasa di Gaza, dan memperingatkan kelompok itu akan “dihancurkan” jika mencoba mengendalikan wilayah itu lagi.
Namun, di balik upaya diplomatik tersebut, kondisi kemanusiaan di Gaza masih sangat memprihatinkan. Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 67.000 warga Palestina tewas sejak perang dimulai, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Ribuan keluarga kini hidup di kamp pengungsian dalam kondisi kelaparan dan kekurangan gizi.
Bagi warga seperti Rola Saqer di kamp Nuseirat, harapan terbesar hanyalah agar anak-anak mereka bisa tumbuh dalam kedamaian, bukan di tengah suara ledakan. Kisah serupa datang dari Amal al-Taweel, seorang ibu muda yang kini membesarkan bayinya di tenda pengungsian tanpa akses gizi, vaksin, ataupun mainan.
Pengamat keamanan nasional AS, Letnan Jenderal (Purn) Richard Newton, menyatakan optimismenya secara hati-hati atas peluang tercapainya kesepakatan damai. Menurutnya, langkah awal yang penting adalah memastikan kembalinya para sandera ke rumah mereka, namun tantangan terbesar justru terletak pada pengaturan Gaza setelah perang berakhir.
Dua tahun sejak perang dimulai, bayi-bayi yang lahir di hari pertama konflik kini tumbuh di bawah bayang-bayang kehancuran. Dunia menanti, apakah mereka akan merayakan ulang tahun berikutnya dalam damai, atau kembali hidup di bawah langit yang dipenuhi bom dan sirene.