Dalam pasal itu disebutkan, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah di dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Namun, setelah putusan MK, persyaratan tersebut diubah menjadi lebih rinci dengan kategori berdasarkan jumlah penduduk di provinsi atau kabupaten/kota. Contohnya, untuk provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12 juta jiwa, partai politik hanya memerlukan minimal 6,5% suara sah untuk mengajukan pasangan calon.
Kritik terhadap Putusan MK
Adi Gunawan menilai bahwa dengan membuat norma baru, MK telah bertindak sebagai pembentuk undang-undang (“positif legislator”). Padahal, kewenangan tersebut seharusnya berada pada DPR dan Presiden sesuai Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
Ditegaskannya, Hakim MK seharusnya menjaga prinsip-prinsip judicial restraint, di mana para hakim tidak boleh melampaui kewenangan sebagai pengadil. Putusan itu justru menciptakan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip negara hukum.
Respons dan Implikasi
Putusan MK ini menuai polemik di kalangan publik dan pengamat hukum. Sebagian mendukung langkah MK karena dinilai membuka ruang demokrasi yang lebih inklusif, sementara sebagian lainnya mengkritik putusan tersebut sebagai bentuk penyimpangan.
Hingga kini, MKMK belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan ini. Namun, kasus ini menjadi ujian penting bagi kredibilitas dan independensi lembaga kehakiman dalam menjaga supremasi hukum dan keadilan di Indonesia.(*)