Radarlambar.bacakoran.co -Pada Jumat (21/2/2025) petang, hujan mengguyur kawasan Monumen Nasional (Monas), namun itu tidak menghalangi semangat ratusan orang yang berkumpul untuk mengikuti Aksi Indonesia Gelap. Setelah hujan reda, ribuan demonstran kembali melanjutkan aksi, sebagian besar mengenakan pakaian serba hitam, sebagai simbol kesedihan dan protes terhadap kebijakan pemerintah yang mereka nilai merugikan masyarakat.
Di tengah kerumunan, Tania, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, bertemu dengan Salsa, seorang mahasiswa dan pekerja magang berusia 22 tahun. Keduanya mengenal satu sama lain karena sama-sama mengenakan kaos hitam yang menjadi ciri khas peserta aksi tersebut. Tania, yang datang dari Ciputat, Tangerang Selatan, mengungkapkan bahwa dia merasa ini adalah kewajibannya sebagai warga negara dan mahasiswa untuk terlibat dalam aksi ini. "Kalau pun minggu depan ada lagi, saya akan turun lagi," ujarnya penuh tekad.
Salsa, yang baru pertama kali mengikuti aksi tersebut, merasa tergerak dengan partisipasi anak muda yang masif. Sebagai seseorang yang juga aktif di media sosial, Salsa melihat bagaimana tagar #IndonesiaGelap dan narasi kritis dari generasi muda semakin ramai diperbincangkan. Baginya, inilah saatnya bagi generasi muda untuk bersolidaritas dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap tak pro-rakyat, terutama bagi masa depan anak-anak muda Indonesia.
Aksi yang Menyentuh Berbagai Kalangan
Aksi Indonesia Gelap tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa, tetapi juga oleh berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Di Jakarta, aksi ini digawangi oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), yang mengajukan sembilan tuntutan. Tuntutan tersebut antara lain mengkaji ulang kebijakan pemangkasan anggaran yang berdampak pada sektor pendidikan, transparansi proyek pembangunan, serta menuntut pengesahan sejumlah RUU yang dianggap merugikan masyarakat.
BEM SI juga menyoroti kebijakan yang menurut mereka dilakukan tanpa kajian mendalam, seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG), serta memperingatkan akan risiko kebijakan yang mengancam hak-hak dasar masyarakat.
Keberanian Kaum Muda Menyuarakan Kritik
Aksi ini bukan hanya menjadi bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga sebagai panggilan bagi generasi muda untuk tidak diam. Leon, seorang pemuda berusia 21 tahun, merasa bahwa pemerintah mulai memperlihatkan gelagat represif terhadap kritik. Ia menyoroti kasus band punk Sukatani yang dibredel, sebagai salah satu bentuk penindasan terhadap kebebasan berekspresi.
Menurut Leon, generasi muda harus bisa menjadi pengawas kekuasaan dan tidak membiarkan kebijakan yang salah merugikan masa depan mereka. "Negara harus menjamin masa depan yang layak bagi warganya," tegas Leon, menambahkan bahwa protes ini bukanlah tanda kebencian, tetapi bentuk cinta terhadap tanah air.
Generasi Muda yang Penuh Harapan
Peserta aksi lainnya, Annisa Azzahra, melihat Aksi Indonesia Gelap sebagai bentuk solidaritas dari kaum muda yang kini semakin sadar akan peran mereka dalam politik. Menurut Annisa, generasi Z tidak hanya pandai bermain media sosial, tetapi juga mampu mendorong perubahan dengan menyuarakan kritik yang konstruktif.
Aksi Indonesia Gelap ini membuktikan bahwa generasi muda Indonesia tidak takut untuk menyampaikan pendapatnya. Mereka ingin pemerintah mendengarkan keluhan mereka, bukan menutup mata terhadap masalah yang ada.
Harapan untuk Perubahan yang Lebih Terang
Jika momen seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran ini hanya menjadi prolog dari kebijakan yang lebih suram, maka generasi muda berharap akan ada cahaya yang muncul setelah gelap. Mereka ingin agar pemimpin yang dipilih benar-benar mendengarkan suara rakyat dan tidak hanya bersembunyi di balik tembok istana. Kini, tantangan terletak pada apakah pemerintah mau membuka telinga untuk mendengarkan tuntutan dan perubahan yang diinginkan oleh masyarakat, terutama generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa. (*)
Kategori :