Radarlambar.nacakoran.co - Fenomena menurunnya kelas menengah di Indonesia kini mulai menunjukkan dampak yang mengkhawatirkan. Laporan terbaru dari Bank Dunia mengungkap bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia—yakni 60,3 persen atau sekitar 172 juta jiwa—saat ini dikategorikan sebagai miskin berdasarkan standar global. Temuan ini tentu menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret.
Penurunan kelas menengah ini bukan sekadar angka statistik. Data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional menunjukkan bahwa jumlah kelompok ini menurun signifikan dalam kurun waktu empat tahun. Jika pada 2019 jumlahnya mencapai 57,33 juta orang, maka pada 2023 hanya tersisa 48,27 juta orang. Artinya, jutaan warga yang sebelumnya cukup mapan secara ekonomi, kini harus bergelut dengan tekanan hidup yang lebih berat.
Masalahnya, penyusutan kelas menengah ini sangat berpengaruh terhadap melonjaknya angka kemiskinan. Jika kelompok ini tidak turun kelas, jumlah penduduk miskin dengan standar baru dari Bank Dunia kemungkinan tidak akan sebesar sekarang. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa menjaga stabilitas ekonomi kelompok menengah adalah kunci penting dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Di sisi lain, Bank Dunia juga mencatat bahwa Indonesia kini menjadi negara dengan jumlah penduduk miskin tertinggi kedua di kawasan Asia Tenggara. Ini menjadi tantangan besar, khususnya bagi tim ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan strategis untuk menumbuhkan ekonomi yang inklusif dan berkualitas harus segera dirumuskan.
Pemerintah dituntut untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja formal serta mendorong iklim investasi yang lebih ramah. Selain itu, hambatan-hambatan seperti praktik rente ekonomi, pembatasan impor yang tidak produktif, hingga lemahnya daya saing industri dalam negeri, harus segera dibenahi agar pertumbuhan ekonomi bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Laporan Bank Dunia bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025 menjadi cermin tajam bagi para pengambil kebijakan. Terlebih jika dibandingkan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 yang mencatat angka kemiskinan "resmi" sebanyak 24,06 juta jiwa, maka kesenjangan antara standar global dan nasional pun terlihat nyata. Artinya, pemerintah tidak bisa lagi menutup mata—angka kemiskinan ini bukan sekadar PR, melainkan tantangan mendesak yang harus dijawab dengan tindakan nyata. (*/rinto)