Penduduk Miskin Ekstrem RI Capai 2,38 Juta Orang

Ilustrasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia tercatat sebanyak 2,38 juta orang per Maret 2025-Foto Dok---
Radarlambar.bacakoran.co - Jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia mengalami penurunan signifikan per Maret 2025. Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlahnya tercatat sebanyak 2,38 juta orang, atau setara dengan 0,85 persen dari total populasi. Angka ini menjadi capaian terendah sejak pemerintah mencanangkan target penghapusan kemiskinan ekstrem beberapa tahun terakhir.
Penurunan sebesar 400 ribu jiwa dibandingkan periode September 2024 mencerminkan arah kebijakan yang dinilai berhasil dalam menurunkan ketimpangan ekstrem. Jika dibandingkan dengan Maret 2024, penurunan lebih tajam, mencapai 1,18 juta jiwa. Secara persentase, penurunan tercatat 0,14 poin dari September dan 0,41 poin dari periode tahunan sebelumnya.
BPS menggunakan metode global dengan ambang batas pengeluaran harian sebesar US$2,15 PPP (Purchasing Power Parity) 2017 per kapita untuk mengukur kemiskinan ekstrem. Berdasarkan nilai tukar setara riil, angka tersebut berkisar antara Rp12 ribu hingga Rp13 ribu per orang per hari. Jika pengeluaran seseorang berada di bawah jumlah tersebut, maka yang bersangkutan masuk dalam kategori miskin ekstrem, karena dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, kesehatan, hingga transportasi.
Meskipun Bank Dunia kini telah memperkenalkan ambang batas kemiskinan ekstrem baru sebesar US$3 PPP, Indonesia masih mengacu pada standar US$2,15 PPP agar sejalan dengan tren penghitungan sebelumnya dan demi keberlanjutan pemantauan dari waktu ke waktu.
Dari sisi metodologi, pencatatan terbaru BPS juga telah menggunakan pendekatan spasial deflator, metode yang memberikan pembobot harga berdasarkan wilayah geografis. Metode ini menggantikan pendekatan lama yang hanya menggunakan indeks harga konsumen (CPI), dan telah disesuaikan dengan praktik internasional serta mendapatkan validasi dari Bank Dunia. Bila metode baru ini digunakan untuk menghitung angka tahun sebelumnya, maka persentase kemiskinan ekstrem Maret 2024 seharusnya mencapai 1,26 persen. Dengan begitu, capaian 0,85 persen di Maret 2025 menunjukkan lompatan perbaikan yang substansial.
Data ini juga memperkuat tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang penghapusan kemiskinan ekstrem, yang menugaskan BPS sebagai otoritas utama dalam pelaporan capaian nasional. Melalui instruksi ini, pemerintah menetapkan target yang ambisius: menghapus kemiskinan ekstrem sepenuhnya dalam waktu dekat, sembari memastikan program perlindungan sosial dan ekonomi tetap terdistribusi kepada kelompok paling rentan.
Pemerintah berharap hasil ini bukan sekadar indikator statistik, melainkan bukti nyata dari keberhasilan sejumlah program seperti bantuan sosial bersyarat, subsidi energi tepat sasaran, serta dukungan terhadap UMKM dan pemberdayaan ekonomi desa. Ke depan, kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk Bappenas, Kemenkeu, dan Kemensos, akan terus diperkuat untuk menutup celah kemiskinan ekstrem yang masih tersisa di beberapa daerah.
Meski sudah menunjukkan tren positif, tantangan masih tersisa terutama di kawasan perdesaan dan daerah tertinggal. Pemerintah masih harus memastikan bahwa data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) benar-benar akurat dan terbarui, agar bantuan yang diberikan tepat sasaran dan tidak bocor kepada kelompok yang tidak berhak.
Penurunan angka kemiskinan ekstrem ini menjadi sinyal positif bagi stabilitas sosial dan ekonomi nasional, sekaligus menjadi indikator penting menjelang penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan RAPBN 2026 yang akan dibacakan Presiden Prabowo Subianto pada Agustus mendatang.(*/edi)