Radarlambar.bacakoran.co – Pemerintah mulai kehilangan kesabaran terhadap lambannya realisasi proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Menteri Investasi sekaligus Ketua Satgas Hilirisasi, menyampaikan sinyal keras: apabila PTBA tidak segera menjalankan tugasnya, sebagian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang mereka miliki berpotensi dicabut.
Ultimatum ini muncul menyusul ketidakjelasan kelanjutan proyek gasifikasi batu bara, meski penugasan pemerintah sudah lama diberikan. PTBA memang sempat menyatakan ketertarikan pada jalur hilirisasi lain seperti synthetic natural gas (SNG), artificial graphite, hingga anoda sheet. Namun, arah kebijakan hilirisasi nasional telah ditentukan dan PTBA diminta untuk mengikuti prioritas pemerintah, bukan berjalan dengan agendanya sendiri.
Dalam penilaian pemerintah, hilirisasi batu bara menjadi DME merupakan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG impor dan memperkuat ketahanan energi nasional. Proyek ini ditargetkan memanfaatkan sekitar 6 juta ton batu bara per tahun dan menghasilkan DME sebagai alternatif bahan bakar rumah tangga maupun industri.
Namun dari sisi pelaksana, PTBA mengungkapkan sejumlah kendala serius. Salah satu tantangan utama adalah tingginya biaya produksi DME yang tidak sebanding dengan harga jualnya. Perhitungan internal menunjukkan bahwa harga produksi DME masih berada jauh di atas LPG subsidi yang selama ini beredar di pasar domestik. Jika dihitung berdasarkan volume tahunan, selisih biaya antara LPG dan DME ini bisa mencapai puluhan triliun rupiah.
Masalah lain datang dari sisi teknis. PTBA dan Satuan Tugas Hilirisasi mencatat bahwa proyek ini membutuhkan infrastruktur besar-besaran untuk distribusi serta konversi peralatan rumah tangga agar bisa menggunakan DME. Jarak antar fasilitas distribusi pun cukup signifikan, dengan estimasi sekitar 172 kilometer yang harus dipenuhi demi menjamin kelancaran pasokan.
Ironisnya, proyek ini sempat berada di jalur yang menjanjikan saat Air Products, sebuah perusahaan global penyedia teknologi, menyatakan kesediaannya untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas produksi. Namun pada Februari 2023, perusahaan tersebut memutuskan mundur dari proyek. Keputusan ini memukul rencana awal, di mana PTBA bertindak sebagai pemasok batu bara, Pertamina sebagai pembeli utama, dan Air Products sebagai pengelola fasilitas produksi.
Kendati menghadapi hambatan besar, PTBA menegaskan komitmennya untuk tetap menjalankan proyek hilirisasi DME. Sejumlah investor disebut mulai melirik peluang di sektor ini, namun pihak perusahaan juga berharap adanya dukungan kebijakan lebih kuat dari pemerintah untuk menjamin keberlanjutan proyek dalam jangka panjang.
Kini, tekanan semakin besar. Pemerintah menuntut langkah konkret, bukan sekadar rencana. Jika tidak segera ada aksi nyata, konsekuensinya bisa berat: PTBA harus bersiap kehilangan sebagian wilayah usahanya. (*/rinto)