Radarlambar.bacakoran.co - Musim kemarau biasanya datang membawa langit biru dan udara kering yang menggigit. Namun tahun ini, narasi itu berubah. Langit tampaknya sedang enggan menuruti aturan. Alih-alih kering, banyak wilayah di Indonesia justru disiram hujan deras—sebuah ironi yang tak lagi mengejutkan di tengah perubahan iklim yang makin sulit diprediksi.
Meski lebih dari setengah wilayah Indonesia telah secara resmi masuk musim kemarau sejak April, curah hujan masih menjadi tamu rutin di berbagai daerah. Jakarta, misalnya, beberapa hari terakhir dihiasi rintik hingga guyuran deras yang datang saat langit mulai gelap, mengganggu ritme harian warga kota.
Fenomena ini berkaitan erat dengan masa peralihan musim atau pancaroba. Di fase ini, atmosfer cenderung tidak stabil. Suhu tinggi di siang hari berpadu dengan kelembapan yang tersisa, menjadi resep sempurna bagi terbentuknya awan hujan di sore hingga malam hari.
Tak hanya itu, gangguan dari laut juga turut memperkeruh keadaan. Sebuah bibit siklon tropis terpantau berkembang di Laut Arafura. Sementara itu, sirkulasi angin berputar yang dikenal sebagai siklonik turut muncul di perairan sekitar Bengkulu, Halmahera, hingga Samudra Pasifik. Sistem ini mendorong terbentuknya awan-awan konvektif yang tak hanya mendatangkan hujan, tetapi juga petir dan angin kencang.
Beberapa daerah telah mencatat curah hujan ekstrem. Bali, misalnya, mencatat angka lebih dari 120 mm per hari. Banten dan Yogyakarta pun tak kalah basah. Sementara di kawasan lain seperti Aceh dan Papua Selatan, angin kencang menjadi tantangan tersendiri yang harus diwaspadai.
Periode pertengahan Mei diprediksi masih menyimpan potensi cuaca ekstrem. Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku diperkirakan masih akan diguyur hujan intensitas tinggi. Sedangkan angin kuat berpotensi menyapu wilayah timur seperti Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Kondisi ini menuntut kesiapan ekstra dari masyarakat. Menjaga kesehatan di tengah perubahan cuaca ekstrem menjadi prioritas. Aktivitas luar ruangan perlu dibatasi, dan konsumsi air harus cukup. Di sisi lain, pengelolaan air juga menjadi hal penting di wilayah yang mulai menunjukkan gejala kekeringan.
Fenomena cuaca yang melenceng dari kebiasaan ini mengingatkan kita bahwa alam tak lagi sepenuhnya bisa ditebak. Musim bukan sekadar nama di kalender—ia kini hadir dengan karakter baru yang lebih dinamis. Dan sebagai penghuni bumi, manusia tak punya pilihan lain selain beradaptasi. (*/rinto)