Inflasi AS Jadi Kompas Volatilitas Bitcoin Selama 12 Bulan Terakhir

Minggu 15 Jun 2025 - 16:53 WIB
Reporter : Edi Prasetya
Editor : Edi Prasetya

Radarlambar.bacakoran.co- Data inflasi Amerika Serikat selama periode Mei 2024 hingga Mei 2025 terbukti menjadi katalis utama dalam memicu volatilitas harga Bitcoin. Dalam 12 bulan terakhir, setiap rilis angka Consumer Price Index (CPI), baik yang sesuai ekspektasi maupun meleset, direspons pasar kripto dengan reaksi signifikan—mencerminkan sensitivitas investor terhadap arah kebijakan moneter The Fed.

Ketika inflasi mulai melandai pada pertengahan 2024, pasar segera membaca peluang terjadinya pelonggaran kebijakan suku bunga. Optimisme terhadap penurunan suku bunga mendorong lonjakan tajam pada aset berisiko, termasuk Bitcoin. Pada Mei dan Juni 2024, inflasi turun berturut-turut dari 3,4% ke 3,3%. Dalam periode yang sama, harga Bitcoin melonjak lebih dari 8%, mencapai level US$68.079.

Namun, reli itu bersifat sementara. Ketika rilis inflasi Juli dan Agustus 2024 menunjukkan pelambatan yang lebih lunak dari perkiraan, pasar mulai ragu. Ketidakpastian akan kelanjutan sikap dovish dari The Fed membuat harga Bitcoin terkoreksi cukup dalam, menyentuh US$57.558. Investor tampaknya belum melihat penurunan inflasi sebagai cukup substansial untuk memicu pelonggaran moneter yang nyata.

Menariknya, volatilitas harga Bitcoin tak hanya didorong oleh angka inflasi yang mengejutkan, tetapi juga oleh kepastian data. Ketika CPI rilis sesuai ekspektasi, seperti pada 13 November dan 11 Desember 2024, harga Bitcoin justru mencatatkan kenaikan moderat namun solid. Dalam dua kejadian tersebut, BTC sempat melonjak lebih dari 4% hanya dalam satu hari. Ini menunjukkan bahwa stabilitas data ekonomi memberi rasa aman bagi investor untuk kembali mengalokasikan modal ke aset berisiko.

Pada Februari 2025, inflasi kembali naik ke 3,0%, yang meski hanya berdampak pada koreksi ringan Bitcoin (-1,9%), tetap menebar kekhawatiran bahwa inflasi belum sepenuhnya terkendali. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bahkan sedikit deviasi dari narasi “inflasi menurun” dapat mengguncang ekspektasi pasar.

Namun yang paling mencolok terjadi pada April 2025. Inflasi turun signifikan ke 2,4%, namun pasar justru terpukul. Harga Bitcoin terkoreksi hampir 4%, jatuh ke US$79.876. Ironisnya, ekspektasi pasar terhadap kebijakan dovish sudah terlalu tinggi. Ketika data positif tak disambut dengan aksi konkret dari The Fed—apalagi di tengah memanasnya isu perang tarif global—pasar memilih untuk mengamankan profit. Momen ini menjadi ilustrasi dari fenomena klasik pasar: sell the news.

Menjelang akhir Mei 2025, sinyal pemulihan kembali menguat. Dengan inflasi jatuh ke 2,3%, investor mulai melihat peluang lebih nyata bagi penurunan suku bunga. Bitcoin kembali menanjak dan menutup bulan dengan menyentuh level US$104.611, menandai fase bullish baru yang ditopang oleh optimisme terhadap arah kebijakan moneter AS.

Analisis selama setahun terakhir menggarisbawahi bahwa pergerakan Bitcoin sangat sensitif terhadap selisih antara angka inflasi aktual dan ekspektasi pasar. Ketika realisasi inflasi sesuai dengan konsensus, harga BTC cenderung naik perlahan. Namun ketika terjadi kejutan—baik positif maupun negatif—reaksi pasar bisa sangat tajam dan tidak selalu rasional.

 

Dalam konteks ini, data inflasi kini tak sekadar menjadi indikator ekonomi, tetapi telah berubah menjadi pemicu utama volatilitas pasar kripto. Bitcoin, sebagai instrumen berisiko yang sangat spekulatif, menunjukkan bahwa arah kebijakan moneter AS tetap menjadi jangkar utama bagi kepercayaan investor global dalam lanskap aset digital.

Kategori :