Radarlambar.bacakoran.co – Iran menyatakan kesiapannya untuk kembali ke meja perundingan dengan Amerika Serikat (AS) terkait program nuklir, namun dengan satu syarat mutlak: tidak ada lagi serangan militer dari Washington selama proses negosiasi berlangsung.
Sinyal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam wawancara eksklusif dengan CBS News, Selasa (1/7). Menurutnya, Iran tidak akan terburu-buru melanjutkan dialog kecuali mendapat jaminan penuh dari AS.
Ketegangan antara kedua negara meningkat tajam setelah pecahnya konflik selama 12 hari antara Iran dan Israel sejak 13 Juni lalu. Serangan udara Israel ke berbagai fasilitas militer dan nuklir Iran memicu respons balasan berupa rudal dan drone yang menghantam wilayah Israel.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Iran, konflik tersebut menewaskan sedikitnya 935 warga Iran dan melukai lebih dari 5.300 orang. Sementara di pihak Israel, laporan dari Universitas Ibrani Yerusalem menyebutkan 29 korban tewas dan lebih dari 3.400 luka-luka.
Ketegangan kian memuncak setelah Amerika Serikat ikut terlibat dengan mengebom tiga fasilitas nuklir utama Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Aksi tersebut sempat memperburuk situasi sebelum akhirnya gencatan senjata mulai diberlakukan pada 24 Juni dengan dukungan diplomatik dari AS.
Program Nuklir Iran Jadi Simbol Nasional
Di tengah tekanan global, Teheran tetap bersikukuh mempertahankan program nuklirnya yang disebut sebagai bagian dari kedaulatan dan harga diri bangsa. Araghchi menegaskan, rakyat Iran tidak akan dengan mudah menghentikan program pengayaan uranium, apalagi setelah serangan yang dianggap sebagai bentuk agresi terhadap hak kedaulatan negaranya.
Ia menyebut bahwa teknologi nuklir Iran tidak bisa dihancurkan hanya dengan serangan bom. Menurutnya, kemampuan teknis dan keilmuan yang sudah dikuasai bangsa Iran bersifat permanen dan tak bisa dihapus begitu saja.
Diplomasi Berjalan di Tengah Luka Perang
Meski belum ada kepastian kapan negosiasi akan dimulai kembali, Gedung Putih memastikan bahwa jalur komunikasi tetap terbuka. Utusan Timur Tengah Presiden AS, Steve Witkoff, disebut masih menjalin kontak dengan pejabat Iran pascagencatan senjata.
Namun, dari sudut pandang Iran, perang yang terjadi bukan hanya soal korban fisik, tetapi juga soal martabat dan kedaulatan. Oleh karena itu, setiap proses diplomatik ke depan akan sangat ditentukan oleh jaminan keamanan dari pihak lawan.
Iran kini berada di titik kritis, menimbang antara diplomasi atau konfrontasi lanjutan. Dunia pun menunggu, akankah babak baru perundingan nuklir dimulai dalam suasana damai, atau justru kembali bergulir di bawah bayang-bayang perang. (*)
Kategori :