Radarlambar.bacakoran.co- Indonesia tengah memantapkan langkah menjadi pusat industri baterai kendaraan listrik (EV) terbesar di Asia dengan membangun ekosistem pabrik baterai terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Proyek besar ini dikembangkan oleh konsorsium yang melibatkan BUMN PT Aneka Tambang (Antam), PT Indonesia Battery Corporation (IBC), serta perusahaan asal China, Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL), yang merupakan bagian dari raksasa teknologi CATL.
Investasi yang dikucurkan mencapai 5,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp96 triliun. Pembangunan dilakukan secara bertahap melalui enam proyek usaha patungan (Joint Venture/JV) di sektor hulu dan hilir, tersebar di Halmahera Timur dan Karawang.
Namun, meski Indonesia kaya akan cadangan nikel—komponen utama baterai—negara ini belum memiliki cadangan lithium yang memadai. Lithium hanya menyumbang sekitar 7 persen dari komposisi baterai, tetapi tetap menjadi bahan baku krusial. Untuk sementara, kebutuhan lithium dipenuhi dari negara lain, seperti Australia dan beberapa negara di Amerika Selatan.
Kendati belum memiliki tambang lithium sendiri, Indonesia tetap punya potensi untuk memproduksinya. Salah satunya melalui ekstraksi dari air panas bumi atau brine geothermal. Sayangnya, potensi ini belum dieksplorasi serius dan masih sebatas kajian awal.
Secara menyeluruh, ekosistem industri baterai yang sedang dibangun terdiri dari tiga proyek di sektor hulu dan tiga proyek di sektor hilir. Di sektor hulu, proyek mencakup penambangan nikel, smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), dan fasilitas High Pressure Acid Leaching (HPAL). Di sektor hilir, terdapat pabrik bahan katoda dan prekursor, pabrik sel baterai berkapasitas hingga 15 GWh per tahun di Karawang, serta fasilitas daur ulang baterai yang ditargetkan rampung pada 2031.
Produksi dari beberapa proyek ini sudah berjalan, misalnya penambangan nikel yang dimulai pada 2023. Sementara itu, proyek smelter, pabrik sel baterai, dan fasilitas daur ulang tengah dipersiapkan dan dijadwalkan beroperasi bertahap mulai 2026 hingga 2031.
Proyek ini bukan hanya bertujuan mendongkrak daya saing Indonesia dalam industri EV global, tetapi juga mendorong transformasi energi yang lebih ramah lingkungan dengan memaksimalkan nilai tambah dari sumber daya dalam negeri. Namun, untuk mewujudkan kemandirian penuh, pengembangan teknologi ekstraksi lithium dan diversifikasi sumber bahan baku masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan pelaku industri.(*)