Radarlabar.bacakoran.co – Peneliti Pusat Riset Politik BRIN menilai Mahkamah Konstitusi (MK) kini memegang peran yang lebih dominan dibandingkan DPR dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, khususnya terkait sistem kepemiluan. Hal ini mencuat setelah MK memutuskan pemisahan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Menurut BRIN, seharusnya MK hanya menguji konstitusionalitas norma yang ada, sedangkan pembentukan undang-undang merupakan kewenangan DPR bersama pemerintah. Dominasi MK ini dinilai berpotensi melampaui prinsip pembagian kekuasaan dan mengganggu mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan.
Putusan MK tersebut dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap DPR karena menetapkan langsung pemisahan jadwal pemilu tanpa menunggu revisi undang-undang oleh legislatif. Pemilu nasional nantinya hanya untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, dan DPD, sementara pemilu DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan digelar bersamaan dengan Pilkada, paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden.
Dari pihak legislatif, muncul kritik bahwa langkah MK ini telah mencampuri kewenangan pembentuk undang-undang. DPR menilai penentuan model keserentakan pemilu seharusnya berada dalam ranah mereka bersama pemerintah. Sebelumnya, MK dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 telah memberikan enam opsi model pemilu untuk ditindaklanjuti DPR, namun hingga kini belum ada revisi UU Pemilu.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya tumpang tindih kewenangan antara MK dan DPR, yang dapat berdampak pada stabilitas hukum dan pelaksanaan pemilu mendatang. (*)
Kategori :