Telan Dana Rp1,115 T - DPR Persoalkan Anggaran Lumpur Lapindo

Komisi V DPR menyebut anggaran penanganan lumpur Lapindo tembus Rp1,115 triliun sejak 2022 karena penanganan tak jelas. (CNN Indonesia)--

Radarlambar.bacakoran.co – Polemik penanganan lumpur Lapindo di Sidoarjo kembali mencuat ke permukaan, kali ini dalam forum resmi parlemen. Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Lasarus, mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam menggelontorkan anggaran besar untuk proyek tersebut dari tahun ke tahun tanpa menunjukkan tanda-tanda penyelesaian tuntas.

Dalam rapat kerja dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dody Hanggodo, Lasarus menyoroti bahwa sejak 2022 hingga Rancangan APBN 2026, alokasi dana untuk penanganan lumpur Lapindo terus muncul, dengan nominal yang tetap tergolong tinggi meskipun menunjukkan tren penurunan. Berdasarkan data yang disampaikannya, anggaran pada 2022 dan 2023 masing-masing sebesar Rp270 miliar, lalu turun menjadi Rp227 miliar di 2024, Rp179 miliar di 2025, dan direncanakan sebesar Rp169 miliar pada 2026.

Menurut Lasarus, penanganan lumpur Lapindo selama ini dinilai tidak menunjukkan hasil signifikan. Ia mempertanyakan efektivitas pendekatan teknis yang digunakan pemerintah dan mendorong agar segera dilakukan evaluasi menyeluruh. Salah satu alternatif solusi yang diajukan adalah membangun kanal besar dari sumber semburan lumpur langsung ke laut. Gagasan ini dianggap lebih permanen dan berpotensi menekan pengeluaran rutin tahunan yang hanya bersifat penanggulangan sementara.

Ketua Komisi V itu juga menyinggung potensi pemborosan anggaran dalam hal pengadaan alat-alat penanganan lumpur, terutama pompa yang selama ini diduga disewa secara berulang tanpa upaya pengadaan permanen. Ia meminta Menteri PUPR untuk menelusuri lebih jauh siapa pihak penyedia pompa dan mengapa kebijakan sewa terus dilakukan selama bertahun-tahun.

Lebih jauh, Lasarus mengangkat persoalan dampak sosial yang masih belum tertangani secara menyeluruh. Ia menegaskan bahwa sejumlah masyarakat terdampak lumpur Lapindo hingga kini belum menerima kompensasi atau ganti rugi, meskipun proyek penanganan terus berjalan setiap tahun. Bahkan disebutkan bahwa ada mantan anggota DPR yang menjadi korban dampak lumpur namun belum mendapatkan haknya dari negara.

Di tengah terus mengalirnya anggaran untuk proyek teknis, perhatian terhadap warga terdampak justru dianggap semakin memudar. Keluhan dari warga di Sidoarjo pun masuk ke meja Komisi V DPR. Warga menggambarkan kondisi ini layaknya “memelihara kucing”—menghabiskan energi, waktu, dan uang tanpa hasil konkret yang bisa dirasakan masyarakat.

Menanggapi kompleksitas masalah ini, Lasarus membuka kemungkinan pembentukan Panitia Kerja (Panja) DPR untuk secara khusus menangani isu penanganan lumpur Lapindo. Ia juga menyarankan agar audit menyeluruh dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan tujuan tertentu. Audit tersebut diharapkan dapat mengungkap kemungkinan inefisiensi, pengadaan fiktif, atau bahkan potensi tindak pidana dalam proyek yang menyedot ratusan miliar dari APBN setiap tahunnya.

Lasarus menegaskan bahwa jika ditemukan pelanggaran atau penyimpangan anggaran, DPR akan mendorong proses hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab. Proyek penanganan lumpur ini tidak bisa terus dibiarkan menjadi “proyek abadi” yang tidak menyentuh akar persoalan dan tidak memberikan dampak nyata bagi rakyat.

Dalam rapat tersebut, Lasarus juga mengingatkan bahwa alokasi anggaran sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan yang lebih terasa manfaatnya bagi masyarakat luas, seperti pembangunan infrastruktur jalan daerah, jembatan penghubung desa, atau revitalisasi irigasi pertanian. Ia menilai bahwa pemerintah harus berani meninjau kembali prioritas pembangunan, terutama jika proyek besar justru membebani anggaran negara tanpa kejelasan hasil.

Dengan nada tegas, ia meminta Kementerian PUPR untuk berhati-hati dalam menyusun usulan anggaran di tahun-tahun mendatang. Kejelasan arah, transparansi pelaksanaan, serta akuntabilitas penggunaan dana publik harus menjadi fondasi dalam setiap proyek yang menyedot dana besar dari kas negara.(*/edi)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan