PESISIR SELATAN - Ancaman erosi sungai di Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat (Pesbar), kian parah. Sejumlah sungai besar yang melintasi wilayah itu setiap tahun terus menggerus daratan, terutama saat musim hujan tiba. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi lanskap daerah aliran sungai (DAS), tapi juga berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Camat Pesisir Selatan, Mirton Setiawan, S.Pd., M.M., mengatakan bahwa masalah erosi sungai bukanlah persoalan baru. Setiap musim hujan tiba, volume air yang meningkat drastis memicu terjadinya banjir, yang kemudian mempercepat laju pengikisan tebing sungai.
“Kondisi ini memang terjadi setiap tahun, terutama saat banjir. Secara perlahan, pengikisan tanah di sepanjang pinggiran sungai terus bertambah, sehingga lahan masyarakat makin tergerus,” katanya.
Dijelaskannya, wilayah Pesisir Selatan dilintasi oleh beberapa sungai besar yang memiliki karakteristik arus deras. Beberapa di antaranya adalah Way Tenumbang, Way Basohan, Way Biha, Way Marang, hingga Way Mahnai, dan lainnya. Aliran sungai-sungai ini menjadi tulang punggung bagi masyarakat sekitar, tetapi juga membawa risiko serius ketika erosi tak terkendali.
“Kalau dibiarkan, lambat laun kondisi ini bisa berdampak lebih luas lagi. Kita sudah melihat sendiri bagaimana lebarnya sungai di beberapa titik semakin meluas, terutama di bagian muara yang langsung menghadap laut,” jelasnya.
Karena itu, kata Mirton, penanganan yang lebih serius dari pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah itu jelas sangat penting karena memang mendesak. Selain itu, ia juga menilai upaya penanggulangan tidak bisa hanya bersifat sementara atau setengah hati, melainkan perlu dirancang sebagai program jangka panjang yang terstruktur.
“Arus sungai yang kuat terus mengikis daratan, dan ini bukan hanya mengancam lahan, tetapi juga dapat mempengaruhi permukiman warga yang ada di sekitar bantaran sungai,” ujarnya.
Menurut Mirton, langkah konkret yang paling mendesak adalah pembangunan infrastruktur penahan erosi, seperti talud atau bronjong. Pemasangan konstruksi tersebut di titik-titik rawan diharapkan mampu menahan laju arus sungai, sehingga mengurangi risiko pengikisan tanah yang semakin parah.
“Paling tidak, pembangunan talud atau bronjong bisa jadi solusi awal untuk mengurangi dampak erosi sungai. Karena kalau menunggu terlalu lama, bisa saja kerusakan yang terjadi sudah semakin meluas dan sulit diperbaiki,” katanya.
Disisi lain, Mirton mengakui bahwa tantangan penanganan erosi sungai tidaklah mudah. Keterbatasan anggaran daerah kerap menjadi kendala utama dalam merealisasikan pembangunan fisik di sepanjang aliran sungai. Meski demikian, pihaknya tetap optimistis, asalkan ada sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat.
“Harapan kami tentu saja agar ke depan ada program konkret yang benar-benar direalisasikan. Karena kalau tidak segera dilakukan, bukan hanya lahan yang habis, tetapi juga bisa mengancam fasilitas umum, jalan, bahkan rumah warga di sekitar sungai,” pungkasnya.(yayan/*)