RADARLAMBARBACAKORAN.CO- Perdana Menteri Nepal akhirnya mengundurkan diri setelah gelombang protes besar mengguncang Kathmandu. Keputusan itu mencerminkan puncak akumulasi kekecewaan rakyat terhadap korupsi, gaya pemerintahan otoriter, serta krisis ekonomi yang menekan kehidupan sehari-hari. Larangan pemerintah terhadap media sosial menjadi pemicu terakhir yang memantik ledakan kemarahan publik.
Fenomena ini menegaskan rapuhnya legitimasi kekuasaan ketika aspirasi rakyat diabaikan. Begitu kebijakan kontroversial muncul, massa menjadikannya simbol perlawanan. Nepal kini menjadi negara ketiga di Asia Selatan dalam empat tahun terakhir yang menyaksikan tumbangnya penguasa akibat tekanan jalanan, setelah Sri Lanka pada 2022 dan Bangladesh pada 2024.
Di Sri Lanka, krisis pangan, bahan bakar, dan obat-obatan memaksa presiden mundur. Sementara di Bangladesh, mahasiswa dan generasi muda memimpin aksi menentang represi politik dan korupsi, hingga akhirnya pemerintah menyerah. Kini, Nepal mengikuti pola yang sama: rakyat menolak pembatasan hak dasar dan melawan upaya pembungkaman suara publik.
Fenomena beruntun ini memperlihatkan wajah demokrasi yang penuh gejolak tetapi tetap hidup. Rakyat menuntut ruang partisipasi nyata, sementara korupsi dan kesewenang-wenangan birokrasi tidak lagi bisa ditutupi retorika pembangunan.
Teori Alexis de Tocqueville relevan dengan situasi ini: stabilitas politik hanya mungkin tercapai jika pemerintah menghormati aspirasi rakyat dan membuka ruang kebebasan sipil. Ketika keadilan sosial diabaikan, rakyat mencari jalannya sendiri melalui aksi massa.
Implikasi ke depan cukup besar. Jika pemerintahan baru di Nepal mampu belajar dari krisis ini, maka kebijakan inklusif dan transparan bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, jika pola lama diulang, ketidakpuasan serupa berpotensi meletus kembali.
Generasi muda, khususnya Gen Z, kini terbukti menjadi motor utama perubahan politik. Mereka peka terhadap kebebasan, cepat merespons ketidakadilan, dan berani melawan status quo. Hal ini menegaskan bahwa tata kelola negara harus berpusat pada rakyat dengan menjunjung transparansi, akuntabilitas, serta perlindungan hak sipil.
Kisah Nepal, Sri Lanka, dan Bangladesh memperingatkan dunia bahwa suara rakyat tidak bisa dipadamkan. Sejarah empat tahun terakhir di Asia Selatan adalah bukti nyata bahwa demokrasi akan selalu menemukan jalannya, meski penuh gejolak. (*)