Mahkamah Agung Tolak Kasasi Terkait Pembangunan Perkebunan di Papua yang Viral tagar #AllEyesOnPapua.
Gedung Mahkamah Agung. Foto/Net--
Radarlambar.bacakoran.co– Mahkamah Agung (MA) telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Hendrikus Woro dan beberapa pihak lainnya mengenai proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik di area seluas 36.094 hektare yang terletak di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Kasus ini sempat menjadi sorotan di media sosial dengan tagar #AllEyesOnPapua.
Dalam putusannya yang diumumkan pada hari Sabtu, 2 November 2024, MA menetapkan bahwa kasasi tersebut ditolak. Keputusan ini dipimpin oleh hakim agung Irfan Fachruddin, dengan hakim anggota Yodi Martono Wahyunadi dan Cerah Bangun. Putusan ini tercatat dengan nomor 458 K/TUN/LH/2024.
Pemohon kasasi dalam kasus ini meliputi Hendrikus Woro, seorang perwakilan warga adat Awyu, bersama Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Mereka mengajukan gugatan terhadap Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua serta PT Indo Asiana Lestari (IAL).
Sebelumnya, mereka menggugat keputusan Dinas Penanaman Modal PTSP Provinsi Papua yang mengesahkan kelayakan lingkungan untuk rencana pembangunan perkebunan dan pabrik tersebut. Mereka meminta pengadilan untuk menyatakan keputusan itu batal dan mencabut surat keputusan terkait. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura awalnya mengabulkan gugatan mereka, namun pada tingkat banding, putusan itu dibatalkan oleh PTUN Manado, yang membuat mereka mengajukan kasasi.
Salah satu hakim, Yodi Martono Wahyunadi, mengajukan dissenting opinion selama musyawarah majelis.
Ia menekankan bahwa tergugat tidak menanggapi surat keberatan yang diajukan oleh Hendrikus Woro terkait objek sengketa, yang seharusnya memenuhi ketentuan administrasi pemerintahan.
Hakim Yodi juga mengingatkan bahwa Dinas Penanaman Modal Papua dan PT IAL tidak mempertimbangkan dampak lingkungan dari proyek ini, yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan suku Awyu. Ia menyoroti pentingnya analisis dampak lingkungan yang mencakup aspek sosial dan budaya.
Akhirnya, MA menolak permohonan kasasi tersebut dan memutuskan agar pemohon membayar biaya perkara sebesar Rp 500 ribu. Putusan ini menegaskan bahwa proyek pembangunan di kawasan tersebut tidak dapat dilanjutkan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan dampak lingkungan yang lebih luas.(*)