DJP Menunjuk 7 Perusahaan Asing sebagai Pemungut PPN Digital
PPN : Pemerintah Indonesia Menunjuk Tujuh Perusahaan Internasional Sebagai Pemungut PPN untuk Perdagangan Melalui PMSE.// Foto: dok/Net--
Radarlambar.bacakoran.co - Pada November 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Indonesia mengumumkan bahwa tujuh perusahaan internasional kini ditunjuk sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk perdagangan yang dilakukan melalui sistem elektronik (PMSE). Perusahaan itu meliputi Amazon Japan G.K., Vorwerk International & Co. KmG, Huawei Service (Hong Kong) Co. Limited, Sounds True Inc, Siteground Hosting Ltd., Browserstack Inc., serta Total Security Limited.
Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, menyatakan bahwa penunjukan ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha digital dan konvensional. Pemerintah Indonesia bertekad untuk terus memperluas jumlah pelaku usaha PMSE yang menawarkan produk atau layanan digital kepada konsumen di tanah air.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.60/PMK.03/2022 perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE wajib memungut PPN sebesar 11% dari produk digital yang dijual di Indonesia. Selain itu, mereka harus menyediakan bukti pemungutan PPN, yang dapat berupa faktur komersial, tagihan, atau dokumen serupa yang menyebutkan pemungutan dan pembayaran PPN.
Pada bulan November 2024, DJP juga memperbarui data pemungut PPN PMSE, dengan melakukan pembetulan untuk perusahaan Posit Software, PBC, serta mencabut status pemungut PPN untuk Global Cloud Infrastructure Limited. Sejauh ini DJP telah menunjuk total 199 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN. Dari jumlah itu, 171 perusahaan sudah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN dengan total mencapai Rp24,5 triliun. Setoran-setoran tersebut berasal dari sejumlah pembayaran tahunan dengan rincian tahun 2020 Rp 731,4 miliar, tahun 2021 sebesar Rp 3,90 triliun, Rp 5,51 triliun pada 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023 dan Rp 7,58 triliun pada 2024.
Untuk menjaga persaingan yang adil, pemerintah berencana untuk terus menambah daftar pelaku usaha yang memenuhi kriteria tertentu, seperti memiliki transaksi tahunan lebih dari Rp 600 juta atau Rp 50 juta perbulan serta trafik lebih dari 12.000 per tahun atau 1.000 perbulan. Selain itu, pemerintah juga berencana untuk mengeksplorasi potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital lainnya, seperti pajak atas perdagangan aset kripto, bunga pinjaman fintech, dan transaksi pengadaan barang atau jasa melalui sistem pengadaan pemerintah. (*)